Dari pernyataan
salafi tersebut bahwa seseorang yang meninggal tidak dapat mendengar dari
kehidupan dunia berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyah (seorang tokoh panutan
salafi). Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya seseorang : apakah seseorang yang
telah meninggal masih bisa mendengar ? Dia menjawab “dengan mengucap
Alhamdulillahi rabbil a’laamin, saya jawab: ‘iya!’ Orang yang meninggal secara
umum masih bisa mendengar.” Dia lalu menyebutkan hadis-hadis untuk mendukung
jawabannya. Setelah ia menyebutkan hadis tentang salam kepada ahli kubur, dia
berkata, ini adalah bentuk dialog kepada mereka. Dan dialog itu hanya bisa
dilakukan kepada orang yang bisa mendengarnya.”[2]
Pernyataan dari Ibnu Taimiyah tersebut bertentangan dengan kaum salafi pada
zaman sekarang ini. Sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa benarkah kaum salafi
masih mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah.
Perkara
selanjutnya penulis akan melihat ziarah
kubur sebagai kegiatan yang , memberikan dampak
positif bagi orang yang masih hidup. Karena akan mengingat bahwa dirinya
akan meninggal. Asal muasal fenomena ziarah kubur di dunia Islam memang belum
terungkap, namun tidak disangkal bahwa fenomena tersebut banyak meminjam dari
tradisi Yahudi dan Kristen sudah lama bercokol sebelumnya di daerah-daerah
seperti Palestina, Suriah, dan Mesir, dimana Islam berkembang tidak lama
setelah wafatnya Nabi Muhammad.[3]
Ziarah kubur memang pada awalnya ziarah kubur mendapat pelarangan dari nabi Muhammad
sendiri. Karena kondisi iman di kala itu masih percaya kepada hal-hal gaib dan
pengkeramatan. Namun pada akhirnya nabi menganjurkan ziarah sebagai pengingat
kepada seseorang yang masih hidup ketika iman dan islam umat muslim sudah
kafaah. Sebagaimana sabda nabi Muhammad :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزورها
فإنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر الآخرة، ولا تقولوا هجرا. [رواه الحاكم]
Artinya :
“Aku (Nabi) dulu melarang kamu ziarah kubur, maka sekarang berziarahkuburlah
kamu, karena ziarah kubur itu bisa melunakkan hati, bisa menjadikan air mata
bercucuran dan mengingatkan adanya alam akhirat, dan janganlah kamu berkata
buruk”. (HR. Hakim)
Masyarakat
Indonesia menjalankan praktik ziarah kubur yaitu dengan adanya pembacaan surat
Yasin dan dzikir-dzikir yang dikirimkan untuk ahli mayyit . Namun menurut kaum
salafi hal tersebut tidak ada artinya dan pembacaan surat Yasin tidak sampai
kepada ahli mayyit. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan hadis nabi
Muhammad saw : [4]
“ Siapa yang memasuki perkuburan-perkuburan lalu membaca padanya surah Yasin,
niscaya diringankan bagi mereka ketika itu, dan baginya kebaikan-kebaikan
sebanyak jumlah mereka.”
Memang
bagi seorang yang hidup kita belum merasakan bahwa pembacaan ayat-ayat al-Quran
dan zikir-zikir bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal. Kisah tersebut
banyak dialami oleh para ulama sebagai pelajaran bahwa pembacaan ayat-ayat suci
dan zikir-zikir tersebut menjadi penolong bagi ahli mayyit. Sebagaimana kisah
Syabib bin Syaibah : ketika ibuku mengalami sakaratul maut ia berkata kepadaku
: Wahai anakku ! Setelah selesai kau menguburkanku, hendaklah kau berdiri di
sisi kuburku, dan ucapkanlah : Wahai ibuku ! Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah !
Lalu setelah aku selesai menguburkannya, aku berdiri di sisi kuburnya dengan
menyeru Wahai ibuku ! Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah ! dan aku membaca pula Laa
ilaha Illallah, lalu aku pun pulang. Pada malam hari aku bermimpikan ibuku
memberitahuku : Wahai anakku ! aku hampir celaka, kalu tidak karena seruan Laa
Ilaaha Illallah yang kau ucapkan itu. Terima kasih, wahai anakku ! Kau telah
melaksanakan pesanku.[5]
[1]
Ali Jum’uah, Menjawab Dakwah Kaum Salafi, Jakarta : Khatulistiwa, 2013, hlm 185
[2]
Op.cit, hlm 189
[3]
Chambert Loir (et.al), Ziarah & Wali di Dunia Islam, Jakarta: Serambi,
2007, hlm 10
[4] Ali
Jum’uah, Kupas Tuntas Ibadah-Ibadah yang diperselisihkan, Jakarta: Khazanah
Intelektual, 2007, hlm 196
[5]
Ibnu Qayyim, Roh, Singapore : Pustaka Nasional, 2007, hlm 24
0 Komentar