Habib merupakan
panggilan keturunan Rasulullah di Indonesia. Keturunannya yang banyak di tanah
air adalah dari jalur Sayyidina Husein. Kiprah Habaib (jamak dari habib) di
masa revolusi industry 4.0 mempunyai percepatan informasi karena tekhnologi
yang berkembang pesat. Pasalnya para Habib yang bergerak dalam majelis zikir dan
taklim memiliki akun di media-media sosial diantaranya di Instagram, Youtube,
Facebook, dan Twitter. Melalui media-media tersebut ceramah-ceramah dan
dakwah-dakwah mereka bisa dilihat, disimak, didengar, bahkan ditiru para
idolanya.
Para pengikut
Majelis Dzikir dan Taklim yang dipimpin para habaib di Jakarta percaya bahwa
perkataan atau ucapan guru mereka perpanjangan lisan dari Rasulullah SAW.
Sebagaimana Abū
ʿUthman ʿAmr ibn Baḥr al-Kinānī al-Baṣrī
(dipanggil al-Jahiz) (869 M) menyifati gaya bicara Rasulullah, Allah memberikan
kepada Rasulullah lisan yang mengandung ungkapan cinta, kelembutan gaya bicaranya yang bisa diterima
semua kalangan, dan kumpulan kata-katanya diantara khas kharismatik dan manis, tidak
bertele-tele dalam mengungkapkan maksud bicaranya, dan pernyataannya tidak
membuat bingung pendengarnya. (Sayyid Muhammad al-Maliki:2005:51-52)
Melalui
pernyataan al-Jahiz di atas maka penganggum habaib yakin bahwa gurunya
menyampaikan wejangannya senafas dengan datuknya yaitu Rasulullah. Lantas,
ajaran para keturunan Rasulullah ini bermuara pada siapa? Menurut catatan
sejarah, para dzuriyah Rasulullah membawa ajaran tarekat alawiyah. Tarekat yang
berarti jalan, kebiasaan, atau tradisi. Sedangkan Alawiyah atau Alawi digunakan
bagi siapa saja yang menisbatkan diri kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Bahkan,
simpatisan (mawali) dari mereka pun juga disebut Alawi. Melalui dua termin
tersebut bisa di dapatkan satu perspektif bahwa tarekat alawiyah yaitu jalan
yang ditempuh oleh keturunan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. (Aziz
Masyhuri:2011:50)
Bahkan di Maroko juga ditemukan gelar Alawi,
termasuk raja-rajanya, dan moyang mereka masih kerurunan dari al-Hasan Ibn
Qasim al-Hasani, imigran dari Yanbu’ al-Nakhl ke Maroko pada 664 H/1265 M. Di
Sinqith Muritania juga demikian. Ada gelar al-Alawiyyin bagi kelompok
simpatisan Imam Ali bin Abi Thalib, meskipun bukan adanya hubungan nasab (tali
keturunan) dengannya. Adapun di Yaman, Arab Selatan, Hijaz, Asia Tenggara
termasuk Indonesia, Istilah Alawiyyin hanya diperuntukkan bagi mereka yang
masih bersambung keturunannya dengan Imam Alawi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn
Isa al-Muhajir. Mereka juga disebut dengan Ba Alawi. (Aziz Masyhuri:2011:50)
Kakek
Imam Alawi yaitu Imam Ahmad bin Isa, imigran yang lebih dari seribu tahun yang
lalu pindah ke Hadramaut dari Bashrah, Irak. Hijrahnya Ahmad bin Isa dari
Bashrah ke Hadramaut di latar belakangi oleh kondisi politik yang kacau.
Gerakan kelompok Qaramithah pada tahun 308 H yang berusaha mencaplok
wilayah Baghdad. Pemerintahan Baghdad dikatakan nyaris hancur. Implikasinya
yaitu kegiatan-kegiatan dan kajian-kajian ilmiah di masjid terasa sepi. Bahkan
hanya dihadiri oleh segelintir orang hingga tahun 628 H.
Biasanya
keturunannya (Imam Alawi) dipanggil dengan sebutan Sayyid. Sayyid
merupakan kaum bangsawan agama di kota Hadramaut. Mereka menempati kedudukan
yang istimewa, selalu tidak bersenjata, menjalankan tugas keagamaan dan sosial.
Tugas-tugas tersebut diantaranya mengawasi ketaatan terhadap kewajiban terhadap
kewajiban agama, memimpin kegiatan, memimpin upacara agama, dan membina
Pendidikan Islam. (Huub De Jonge:1936:9)
Golongan
Sayyid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut. Mereka terbagi dalam
keluarga-keluarga (qabilah) dan banyak di antaranya mempunyai pimpinan turun
menurun yang bergelar munsib. Para Munsib berdiam di lingkungan keluarga yang
paling besar atau tempat asal keluarganya. Misalnya keluarga bin Yahya
mempunyai Munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdor di al-Khoraibah, keluarga
al-Haddad di al-Hawi, keluarga Agil bin Salim di al-Qaryah, keluarga al-Jufri
di Zi Asbah, keluarga al-Habsyi di Khala Rasyid, dan keluarga bin Ismail di
Taribah. Sedangkan keluarga al-Aidrus memiliki lima munsib yang berkediaman di
al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi, dan al-Ramlah. Keluarga Syekh Abubakar memiliki
dua munsib yang berkediaman di Inat, pemimpin al-Attas juga ada dua yaitu di
al-Masyhad dan al-Horaidoh. (LWC Van Den Berg:1989:34)
Di belahan
negeri lainnya seperti Mesir, sebutan Syarif juga disematkan bagi keturunan
Rasulullah Saw. Jalaluddni al-Suyuthi di dalam kitabnya Risalah al-Zainabiyah
mengungkapkan bahwa pada abad permulaan kata syarif ditujukan kepada siapa saja
yang termasuk ahlu al-Bait, baik ia dari keturunan Hasan, Husein atau Alawi
dari keturunan Muhammad al-Hanafiyah, Ja’far, Aqil, maupun Abbas. Kitab sejarah
karya al-Hafidz al-Dzahabi penuh dengan kalimat-kalimat tersebut seperti syarif
Abbas, Syarif Aqili, Syarif Ja’fari, dan Syarif Zainabi. Terlebih perkembangan
penyematan kata tersebut tatkala pemerintahan mesir dipegang oleh golongan
Fatimiyah, maka kata syarif khusus diperuntukan bagi keturunan Hasan dan Husein
saja. (Idrus al-Masyhur: 2010:33)
Di sisi lain
Sayyid atau Syarif mempunyai klasifikasi tersendiri. Pembagian tersebut terdiri
dari empat daur yang berdasarkan kualitas keilmuan, peran mereka, dan
priodesasi. Daur pertama (Abad ke-3 hingga ke-7 H) dikenal dengan julukan
al-Imam. Julukan imam tersebut menunjukkan bahwa para tokoh pada masa itu
mujtahid. Daur kedua (Abad ke-7 hingga ke 11 H) dikenal dengan julukan
al-Syaikh, yang menunjukkan mereka sebagai tokoh-tokoh tarekat shufiyyah pada
masanya atau juga yang dikenal dengan julukan sebagai para sufi pada masanya.
Daur ketiga (abad ke 11-14 hingga kini) dikenal dengan julukan al-Habib, dan
yang terakhir (awal abad ke-14 hingga kini) dikenal dengan julukan syarif atau
sayyid. (Umar Ibrahim:2000:5)
Tonggak
perkembangan Tarekat Alawiyah dimulai pada masa Muhammad bin Ali, atau yang
lebih dikenal dengan Panggilan al-Faqih al-Muqaddam (seorang ahli agama yang
terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Pada masanya, kota Hadramaut kemudian
lebih dikenal dan mengalamu puncak kemasyhurannya. (Aziz Masyhuri:2011:51)
Muhammad
bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki kelebihan pengetahuan agama
terutama bidang fiqh dan tasawuf. Beliau lahir di kota Tarim dan wafat pada
akhir Bulan Dzulhijjah tahun 653 H. Beliau dikebumikan di pemakaman Zanbal,
suatu pemakaman khusus bagi keturunan Ba’alawi di kota Tarim. (Umar Ibrahim:2000:52)
Banyak
riwayat yang menceritakan tentang Muhammad bin Ali. Konon beliau mempunyai
pengalaman spiritual hingga ke Maqam Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) dan
Khirqah Shufiyyah (legitas kesufiyan). Beliau juga sebagai orang pertama yang
memperkenalkan tata cara khusus praktik ajaran sufistik (tarekat) di Hadramaut.
Selain itu merupakan central figure bagi dunia tasawuf di wilayah Arab
selatan, serta tokoh yang membawa karakteristik ajaran sufistik dari Tarekat
Alawiyah. Pada akhir hayatnya beliau tidak makan dan minum karena semua yang
ada di hadapannya sirna dan yang hanya ada hanya Allah.
Khairuddin
al-Zarkali (1311-1396 H), penulis biografi tokoh Islam dalam karyanya yaitu
al-A’lam mengatakan bahwa al-Faqih al-Muqaddam sebagai ahli fikih yang sufi.
Beliau telah menulis sebuah risalah tentang masalah-masalah spiritual dalam
Islam, Yaitu Risalah Bada’i Ulum al-Mukasyafat wal al-Tajjaliyat. Akan tetapi
risalah tersebut hilang dan tidak ditemukan
keberadaannya.
Wusten
Feld, sejarawan asal Belanda, dalam bukunya Ufisten mengungkapkan bahwa
al-Faqih Muqaddam mendapatkan khirqah sufiyyah melalui perantara Abdullah ibn
Ali Al-Maghribi dan Abdurrahman al-Muk’ad ibn Muhammad al-Hadrami, yang
keduanya membawa ajaran Abu Madyan Syuaib ibn al-Husain al-Tilimsani, tetapi
pada sisi lain secara garis besar ajaranya bersambung pada Imam al-Syibli.
Mazhab
fiqih yang dianut oleh para Sadah Ba’Alawi yaitu Mazhab Imam Syafi’i yang
ditakdirkan berkembang di Yaman sejak awal. Bukan sampai di situ saja, peranan
mereka dan para ulama Hadramaut yang lain sangat berperan dalam menyebarkan,
menghidupkan, dan menulis, dan mengarang fiqih mazhab Syafi’i. Aqidah kaum
Ba’alawi yaitu Sunni Asy’ari. Dan itu terjadi setelah mapannya mazhab ahlu
sunnah di Hadramaut, setelah lenyapnya kekuasaan Ibadhiyah. (Zein Sumaith:2008:xxxviii)
Tarekat Alawiyah sependapat dengan tarekat
sufi lainnya dalam metode rohaninya yang umum. Hanya saja, ia memiliki
keistimewaan dengan sifat salafiyahnya yang nyata. Yaitu mengikuti segala yang
telah ditempuh para tokohnya di masa-masa awal dan menekankan pada pengalaman
ilmu yang merupakan tiang utamanya. Karena itu perhatian mereka terhadap ilmu
fqih lebih besar dibanding ilmu-ilmu lainnya. Mereka juga menyibukkan diri dengan
adab dan akhlak Imam Ghazali. Meskipun demikian mereka mengutamakan khumul
atau menyembunyikan dirinya. (Zein Sumaith:2008:xi)
Tarekat
Alawiyah memiliki keistimewaan dengan menjauhkan diri dari penampilan yang
berlebihan sebagaimana umumnya terdapat pada sebagian tarekat tasawuf. Karena
inti pada tarekat tersebut yaitu mewujudkan makna suluk bathin seperti ikhlas,
tawakal, zuhud, perhatian terhadap akhirat, dan sebagainya. Terlebih lagi pada
tarekat ini memegang teguh ajaran Imam Ghazali yaitu senantiasa menuntut ilmu
dan mengamalkannya dalam kondisi-kondisi nyata dengan tidak membawanya kepada
sisi formalitas atau penampilan yang kosong dari makna.
Masuknya
orang-orang Hadramaut dari kalangan Sadah Ba’alawi dan lainnya ke Jawa
dicatatkan oleh Amir Syakib Arsalan dalam makalahnya yang berjudul Islam di
Jawa dan Sekitarnya berkata, “Telah dimaklumi bahwa orang-orang Hadramaut
adalah penduduk dunia yang paling berani melakukan perjalanan. Kemiskinan
negeri mereka dan tekad yang kuat telah membawa mereka mengarungi alam ini.” (Zein
Sumaith:2008:xiv)
Menurut
catatan L Stodard, pada awal abad ke-11 tlah banyak para Syarif Hadramaut
memasuki Aceh, di antaranya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Umar bin Alawi
al-Syathiri. Menurut Dhiya Syahab, pada waktu itu Aceh tersebar paham tasybih dan syarif
Muhammad berusaha untuk menghilangkan paham tersebut.
Pendapat
lain dalam kitab Al-Masyra’ Al-Rawi diungkapkan bahwa beberapa ulama dari
kalangan Bani Alawi masuk ke Indonesia beberapa abad sebelum kedatangan
Belanda. Di antaranya Syarif Husain yang berperan penting dalam perang Bugis.
Dia termasuk keturunan al-Faqih al-Muqaddam bin Shahib Mirbath. Keluarga Syarif
Husain ini berada di Banjar, Borneo, dan Ceylon.
Para
walisongo penyebar agama Islam di Jawa: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung
Jati, dan sunan-sunan lainnya, menurut penelitian sejarah yang akurat,
keturunan mereka bersambung hingga Nabi Muhammad, dan masih ada hubungan
keluarga dengan para syarif dan sayyid Hadramaut. Silsilah para sunan dan
sultan di Indonesia bersambung kepada keluarga Abd al-Malik. Silsilah Abd
al-Malik bersambung ke al-Faqih al-Muqaddam melalui tiga jalur, yaitu Ali Nur
al-Alam, Ibrahim Asmoro, dan Barakat. Ketiga jalur tersebut bersambung kepada
Jamal al-Din al-husain bin Ahmad bin Abdullah bin Abd al-Malik hingga ke
al-Faqih al-Muqaddam bin Shahib Mirbath. (Umar Ibrahim:2000:4)
Kekharismatikan
Bani Alawi ditakuti oleh Belanda. Pemerintah Belanda sangat memperhitungkan
mereka dan mempersulit perpindahan mereka ke negeri itu (Jawa), karena khawatir
mereka akan menyebarkan dakwah Islam. Maka Pemerintah Belanda menghalangi
mereka untuk masuk Jawa. Padahal orang-orang Hadramaut datang ke Jawa dengan
tanpa modal apa-apa. Selain itu Pemerintahan Belanda mencegah orang-orang non
Muslim memasuki Hadramaut. Begitupun sebaliknya orang-orang Hadramaut tidak
berhak menuntut masuk ke negeri jajahan Belanda, karena Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan dan sekitarnya adalah milik Belanda dan mereka lebih berhak daripada
penduduknya.
Gambar diambil dari: gramho.com
13 Komentar