1)
Perdagangan itu tidak
melalaikan pelakunya untuk beribadah atau ingat kepada Allah. Lalai berarti
merugi di sisi Allah serta tidak akan melepaskannya dari siksa Api neraka (QS.
63:9; QS. 24:37). Pada zaman Nabi Muhammad pernah orang-orang meninggalkan
salat Jumay ketika nabi sedang berkhotbah hanya semata-mata memperebutkan
barang dagangan dari Syam (Suriah). Allah
Swt berfirman: “… Katakanlah: ‘Apa yang disisi Allah adalah lebih baik
dari permainan dan perniagaan …” (QS. 62 : 11)
2)
Tidak mengandung unsur
penipuan karena berdampak pada kerugian salah satu pihak. Unsur penipuan ini
termasuk kepada memakan harta orang lain secara bathil (QS: 2: 188).
3)
Perdagangan yang tidak
dilakukan secara tunai sebaiknya dicatat agar tidak terjadi kesalahpahaman
antara kedua belah pihak. Kemudian dalam perdagangan itu dianjurkan adanya
persaksian pihak ketiga untuk menguatkan keabsahan perdagangan tersebut
(QS:2:282)
4)
Perdagangan itu disyaratkan
harus ada keridhaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli), jika salah satu
pihak tidak ridha maka pihak lain telah memakan hartanya secara bathil (QS:4:9)
5)
Boleh berdagang pada musim
haji tetapi jangan dilakukan sebagai tujuan utama karena akan menghilangkan
fadhilah ibadah haji (QS.2:198)
6)
Apabila kekayaan barang
perdagangan itu telah mencapai kadar yang harus dizakatkan (Nisob yang 2,5
persen dari nisobnya maka dikeluarkan zakat
0 Komentar