Bisnis
adalah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu Bussiness. Bisnis secara
etimologi yaitu selling, atau the activity of buying and selling goods and
service (Cambridge Advance Learner’s Dictionary: 2013: 201). Perspektif dari
pengertian tersebut bahwa bisnis sama dengan jual beli, ada penjual, pembeli,
ada barang, dan ada alat transaksi jual beli, dan akad. Syarat tersebut menjadi
bukti konkrit agar terlaksananya jual beli secara maksimal.
Bisnis di dalam bahasa Arab yaitu
tijarah. Imam al-Nawawi, ahli fikih
Mazhab Syafi’I, mengartikan tijarah sebagai pemindahan hak terhadap benda
dengan melakukan tukar menukar barang.
Harta yang diperdagangkan itu harus berupa benda yang dapat dihadirkan pada
saat transaksi dan boleh juga tidak, asal bisa ditentukan (disifati) bentuk dan
ukurannya (Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1: 1996: 1825).
Melalui pendapat Imam Nawawi, bahwa secara tidak langsung ia telah
memprediksikan akan ada jual-beli secara online untuk di abad modern. Namun, batasan jual-beli secara
online harus ada kejelasan barang, dan transaksi jual beli pada barang
tersebut. Maka kesesuaian barang yang dijual
dan dibeli harus menjadi perhatian.
Pada prinsipnya hukum tijarah itu
adalah mubahah (diperbolehkan). Makah al ini telah termaktub di dalam al-Quran
:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ
فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ
وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS
Al-Baqarah ayat 275)
Ayat tersebut menunjukan bahwa
Allah memperbolehkan jual beli sebagai usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Adapun kebutuhan yang seperti kita ketahui adalah primer, sekunder, dan
tersier. Kebutuhan primer merupakan kebutuhan utama manusia agar kelayakan dan kenyamanan hidup menjadi prioritas yang
utama. Namun keutamaan tersebut harus diselaraskan oleh pendapatan yang
diperoleh.
Namun Ulama fikih mengatakan
bahwa memperdagangkan barang dagangan bisa menjadi wajib bila terkait dengan
kebutuhan pokok atau hal-hal yang mendesak, seperti makanan dan minuman, serta
menjaga jiwa secara umum dari kelaparan. Ada juga perdagangan yang disunahkan
seperti seseorang yang bersumpah yang menjual barang dagangannya yang
sebenarnya tidak memberi mudharat kalau ia jual. Sedangkan yang makruh adalah
memperdagangkan benda yang makruh dimanfaatkan, seperti rokok atau makanan yang
halal tetapi tidak sedap baunya. Sementara yang diharamkan adalah
memperdagangkan benda yang tidak bermanfaat dan dilarang syarak (Ensklopedi
Hukum Islam : 96: 1825) .
Sedangkan Ibnu Khaldun memberi
pengertian bahwa tijarah adalah usaha manusia untuk memperoleh dan meningkatkan
pendapatannya dengan mengembangkan property yang dimilikinya, dengan cara
membeli komoditi dengan harga mahal, baik barang tersebut berupa tepung atau
hasil-hasil pertanian, binatang ternak, maupun kain. Jumlah nilai yang tumbuh dan
berkembang itulah yang dinamakan laba (Ibnu Khaldun: 2001: 712)
Pandangan tersebut mengandung
bahwa barang yang dijual harus bersifat halal dan bagus, dan nilai harga yang
dijual tidak terlalu mahal agar komoditi usaha yang dijalankan bisa mencapai kepuasan
si pembeli dan si penjual. Problemnya adalah bila kepuasaan tersebut hanya bisa
dirasakan si penjual tetapi tidak dirasakan pembeli akan terjadi makruh di
dalam tijarah. Banyak hal tersebut kita dapatkan didalam masyarakat bahwa
barang setelah dibeli mengalami kecacatan.
Maka itu dalam upaya menambah
besarnya properti maka pedagang harus mempunyai modal yang cukup untuk membeli
berbagai komoditi dengan tunai. Begitu juga dalam menjualnya, harus dengan
tunai. Selain itu, para pedagang juga harus dapat bertransaksi tawar menawar mengenai
harganya. Karena Kejujuran jumlahnya hanya sedikit di masyarakat, sehingga akan
menjurus pada penipuan, pengurangan takaran, dan timbangan (Ibnu Khaldun: 2001:
713).
0 Komentar