Ironis
sekali jika guru agama Islam mendapat kesempatan mengajar hanya seminggu sekali
di sekolah, padaha sekolah adalah Institusi transfer ilmu pengetahuan dan
mendidik akhlak dan cara bergaul siswa. Dampaknya pesan Islam yang disampaikan
tidak dapat dipahami secara menyeluruh. Adapun demikian penulis akan meninjau
secara teoritik peran Guru Agama Islam di sekolah Umum. Sehingga hal ini bisa
diketahui secara lebih luas baik pembaca maupun guru agama Islam.
Guru
secara etimologi yaitu someone whose is to teach in a school or college.[1] Melalui
pengertian tersebut bahwa seorang guru harus memiliki kapasitas dan kualitas
keilmuan untuk mentransfer ilmu kepada anak didiknya baik di sekolah maupun di
tempat kursus.
Adapun guru menurut Ali Mudlofir,
guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
jalur pendidikan formal.[2]
Pada pengertian guru di atas maka
guru berperan secara keseluruhan di dalam kegiatan proses belajar hingga
memberikan nilai secara objektif melalui output
ujian akhir. Hal ini menggambarkan bahwa guru mempunyai pandangan secara utuh
dan berhak memberikan keputusan secara objektif tentang siswa dan siswi yang
diajarkannya.
Sebagai Perbandingan atas “cakupan” sebutan
guru ini, di Filipina, seperti tertuang dalam Republic Act 7784, kata guru
(teachers) dalam makna luas adalah semua tenaga kependidikan yang
menyelenggarakan tugas pembelajaran di kelas untuk beberapa mata pelajaran, termasuk
praktik atau seni vokasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
(elementary and secondary level).[3]
Adapun pendidik dalam Islam menurut
Ahmad Tafsir adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
anak didik. Dalam Islam orang bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah
dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua
hal pertama karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua
anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya,
kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua yang berkepentingan
terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua
juga.[4]
Melihat perspektif definisi guru
agama Islam di atas bahwa ada guru agama Islam secara Internal dan Eksternal.
Adapun guru Agama Islam secara Internal yaitu orang tua kandung yang mengajarkan
moral dan akhlak kepada anaknya mulai dari kecil hingga baligh sehingga
terpatri sifat-sifat Islami berupa akhlak mahmudah (akhlak terpuji). Sedangkan
guru agama secara eksternal yaitu seseorang yang dianggap orang tua umumnya di
sekolah yang memberi pemahaman secara teoritik dan praktik mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan ajaran agama Islam.
Secara singkatnya Guru Agama Islam
yaitu seseorang yang mendidik, mengajarkan, dan membimbing siswa dan siswinya
dalam pembelajaran pendidikan Agama Islam. Namun, di dalam pendidikan agama
Islam tersebut harus memenuhi standard baku dari penanaman nilai-nilai Islami
dari aqidah, syariat, dan akhlak. Karena ketiga aspek tersebut siswa-siswi
dapat mengetahui Islam secara kaffah (menyeluruh).
Ahmad Tasir, di dalam bukunya “Ilmu
pendidikan Islami” mengutip pernyataan Soejono tentang syarat guru dalam
pendidikan agama Islam, sebagai berikut:[5]
1. Tentang
Umur, harus sudah dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang penting karena
menyangkut perkembangan seseorang, jadi menyangkut nasib seseorang. Oleh karena
itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung jawab. Itu hanya dapat
dilakukan oleh orang yang telah dewasa; anak-anak tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban.
Di Indonesia, seseorang dianggap
dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau sudah nikah. Menurut ilmu pendidikan
adalah 21 tahun bagi lelaki dan 18 tahun bagi perrempuan.
2. Tentang
kesehatan, harus sehat jasmani dan ruhani
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksana
pendidikan, bahkan dapat membahakan anak didik bila mempunyai penyakit menular.
Dari segi ruhani, orang gila berbahaya juga bila ia mendidik.
3. Tentang
kemampuan mengajar, ia harus ahli
Ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru
(orang tua di rumah) sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu
pendidikan. Dengan pengetahuannya itu diharapkan ia akan berkemampuan
menyelenggarankan pendidikan dengan baik dan menghasilkan anak didik yang
berkarakter.
4. Harus
berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini sangat penting dimiliki untuk
melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar. Bagaimana guru akan
memberikan contoh-contoh kebaikan bila ia sendiri tidak baik perangainya? Dedikasi
tinggi tidak hanya diperlukan dalam mendidik selain mengajar; dedikasi tinggi
diperlukan juga dalam meningkatkan mutu mengajar.
Munir Mursi tatkala membicarakan
syarat guru kuttab (semacam sekolah dasar di Indonesia), menyatakan syarat
terpenting bagi guru agama Islam adalah syarat keagamaan. Dengan demikian
Syarat Guru dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Umur,
harus sudah dewasa
2. Kesehatan,
harus sehat jasmani dan ruhani
3. Keahlian,
harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk
ilmu mengajar)
4. Harus
berkepribadian muslim
Untuk itu, guru Agama Islam harus menguasai Ilmu
Pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang dimaksud yaitu yang berhubungan dengan
al-Qur’an dan Hadits. Selain itu Pendidikan Islam berkaitan dengan hukum Islam
secara menyeluruh untuk kehidupan manusia dan berhubungan antara dirinya dengan
pencipta, alam semesta, dan kehidupan.[6]
Sedangkan menurut Marimba,
pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama
Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Dengan pengertian lain seringkali beliau mengatakan kepribadian utama dengan
istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai Islam.[7]
Melalui dua pengertian diatas
mengenai pendidikan Islam, maka penulis mengambil perspektif maka pendidikan
Islam yaitu pendidikan yang berdasarkan tuntunan Rasulullah, sebagaimana
Rasulullah adalah penyempurna akhlak. Untuk itu untuk menyempurnakan akhlak
diperlukan pembelajaran tentang akidah dan syariat Islam yang tidak menyimpang
dari apa yang dilakukan Rasululah. Maka diperlukan kurikulum dengan proyek
jangka pendek dan panjang. Proyek jangka pendek dengan mencatat ceramah-ceramah
di acara-acara tabligh akbar. Sedangkan proyek jangka panjang dengan membuat
kegiatan kelompok yang berkaitan dengan humanisme, yaitu bakti sosial, mengajar
al-Quran ataupun bidang umum yang siswa-siswi mampu ke anak-anak yang mempunyai
ekonomi menengah ke bawah. Hal ini diperlukan karena mata pelajaran agama Islam
hanya didapat seminggu sekali di Sekolah Menengah Atas Negeri.
Selain itu metode pengajaran agama
perlu diperhatikan oleh guru-guru agama Islam di sekolah tempat mereka
mengajar. Al-Nahlawi memberikan metode pengajaran agama Islam yang efektif dan
efisien sebagai berikut:[8]
-
Metode hiwar
Qurani dan Nabawi ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih
mengenai suatu topik, dan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki
(dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan tidak
dibatasi; dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dan
lain-lain. Kadang-kadang pembicaraan itu sampai pada satu kesimpulan,
kadang-kadang tidak ada kesimpulan karena satu pihak tidak puas terhadap pihak
lain.
-
Metode kisah
Qurani dan Nabawi adalah metode yang dapat menyentuh hati manusia karena kisah
tersebut menampilkan tokoh dalam konteksnya menyeluruh. Karena tokoh cerita
ditampilkan dalam konteks yang menyeluruh, pembaca atau pendengar dapat dapat
ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang
menjadi tokohnya.
-
Metode Amtsal
adalah metode perumpamaan yang digunakan guru sebagai penyadaran sebagai
siswa-siswi yang diajarnya. Metode ini tentu saja sama dengan metode kisah
yaitu dengan berceramah atau membaca teks. Sebagai contoh guru menjelaskan kepada anak didiknya tentang
surat Al-Ankabut ayat 41, Allah mengumpamakan sesembahan atau Tuhan orang kafir
dengan sarang laba-laba:
“Perumpamaan
orang-orang yang berlindung kepada selain Allah seperti laba-laba yang membuat
rumah; padahal rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba”
-
Metode
peneladanan yaitu seorang guru harus memperlihatkan teladan bagi
murid-muridnya. Karena murid-murid cenderung meneladani pendidiknya; ini diakui
oleh semua ahli pendidikan, baik dari barat maupun dari timur. Pada dasarnya adalah
karena secara psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang
jelek pun ditirunya.
-
Metode
pembiasaan adalah pengulangan. Jika guru setiap masuk kelas mengucapkan salam,
itu telah dapat diartikan sebagai usaha membiasakan Bila murid masuk kelas
tidak mengucapkan salam, maka guru mengingatkan agar bila masuk ruangan
hendaklah mengucapkan salam, ini juga satu cara membiasakan.
-
Metode ibrah dan
I’tibar adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari
sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang
menyebabkan hati mengakuinya. Adapun metode mau’izah adalah nasihat yang lembut
yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.
-
Metode targhib
adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan.
Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targhib bertujuan agar orang
mematuhi aturan Allah. Tarhib demikian juga, akan tetapi tekanannya adalah
targhib agar melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar menjauhi kejahatan,
-
Metode pepujian
yaitu metode bagaimana seorang guru mengenalkan kepada murid-murid tentang
shalawat nabi Muhammad dan kalimat thayyibah agar dipraktekan dalam kehidupan
sehari-hari.
-
Metode wirid
yaitu murid diajarkan pengucapan doa-doa, berulang-ulang. Lafal doa itu
bermacam-macam. Biasanya dibaca tatkala selesai salat. Ada juga wirid berupa
zikir, ada juga dibaca berulang-ulang dalam jumlah tertentu.
Jika metode-metode tersebut dijalankan
oleh guru Pendidikan Agama Islam maka akan menghasilkan murid-murid yang
Islami. Artinya murid-murid tersebut akan membawa kesan bahwa dengan
mempelajari agama Islam akan menambah kebaikan dan kesadaran untuk menumbuhkan
sifat kenabian. Sifat kenabian tersebut mencakup shidiq, amanah, tabligh, dan
fatonah.
[1]
Collin McIntosh et. al., Cambridge Advanced Learner’s Dictionary,
(New York: Cambridge University Press: 2013), P. 1611
[2]
Ali Mudlofir, Pendidik Profesional,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2012), hlm. 120
[3]
Op.Cit, 121
[4]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Agama Islam,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 119-120
[5]
Ibid, hlm. 127-128
[6]
Abdul Qadir, At-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Fun At-Tadris, (Cairo, Dar Al-Salami, 2008), hlm. 13
[7]
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam,
(Bandung: Pustaka Setia: 1998), hlm. 5
[8]
Ibid, hal. 202-223
0 Komentar