Riview Buku "Adab di Atas Ilmu"




Judul : Adab Di Atas Ilmu – Tuntunan Belajar-Mengajar yang Barokah

Nama Penulis : Imam Nawawi (diterjemahkan dari Adabul ‘Alim Wal Muta’allim)

Nama Penerbit : DIVA Press

Tahun Terbit : 2021

Jumlah Halaman : 200 hlmn

Keikhlasan, kejujuran, dan keteguhan hati menjadi topik pendahuluan dalam buku ini. Ustadz Abu Qasim Abdul bin Hawazin al-Qusyairi dalam Risalah-nya menyebutkan bahwa keikhlasan adalah satu-satunya kebenaran dalam ketaatan. Beliau menginginkan dengan ketaatannya itu dapat benar-benar dekat dengan Allah Swt, tidak dengan yang lainnya, tidak pula ingin dicintai oleh manusia, baginya tidak ada hal lain, kecuali hanya ber-taqarrub dengan Allah Swt. Keikhlasan adalah tentang melupakan diri dari penglihatan (penilaian) manusia dengan senantiasa menyerahkannya kepada Sang Kuasa.

Sementara itu, menurut Riwayat dari Al-Haris bin Asad al-Muhasibi bahwa manusia yang jujur adalah manusia yang teguh hatinya, meskipun Ia mendapatkan banyak pujian. Ia tidak lantas mencintai manusia karena perbuatan baiknya, tidak juga membenci mereka sebab perbuatan buruknya. Selain itu, masih banyak potongan ayat-ayat Al-Quran serta hadist yang shahih untuk memperkuat pengertian tentang keikhlasan, kejujuran, serta keteguhan hati itu sendiri.

Pembahasan selanjutnya di dalam buku ini adalah mengenai pentingnya ilmu dan kewajiban umat muslim dalam menuntut ilmu. Penulis juga banyak mencantumkan ayat Al-Quran dan Hadist yang shahih tentang keutamaan menuntut ilmu. Salah satu contohnya adalah sabda Rasulullah dalam hadist Riwayat muslim yang berbunyi: “Jika manusia meninggal dunia, semua amalnya akan terputus, kecuali 3 hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta do’a anak sholeh.”

Abu Muslim al-Khulani mengatakan bahwa perumpamaan para ahli ilmu di muka bumi itu seperti gugusan bintang yang bertebaran di angkasa. Apabila mereka mengajarkan ilmunya, maka manusia akan mendapatkan cahaya. Namun, jika mereka menyembunyikannya, maka manusia akan berada dalam suasana yang gelap gurita.

Iman Syafi’I pun senantiasa menegaskan bahwa mencari ilmu itu lebih utama daripada melakukan ibadah shalat sunnah. Barang siapa menginginkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, ia harus berilmu. Manusia yang tidak mencintai ilmu, maka tidak ada kebaikan sama sekali di dalam dirinya. Bahkan, Imam Bukhari Ra. menukil sebuah ungkapan dari Ibnu ‘Amir Ra., “Belajarlah agar kalian tidak menjadi orang-orang yang suka berprasangka.” Ia menjelaskan bahwa maksud ‘orang-orang yang suka berprasangka’ adalah suatu perilaku seseorang yang tidak dilandasi keyakinan atau hanya menduga-duga, karena ia tidak memiliki ilmunya.

Salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud juga mengatakan bahwa satu orang yang berilmu jauh lebih baik daripada seribu orang ahli ibadah. Hal ini berarti bahwa berilmu merupakan hal yang lebih utama daripada beribadah. Bahkan, Rasulullah Saw. juga pernah bersabda bahwa jika maut datang menjemput seseorang yang sedang menuntut ilmu, maka ia mati dalam keadaan syahid. Maka dari itu, kita sebagai umat muslim sudah sepatutnya untuk selalu menuntut ilmu, karna berilmu merupakan hal yang sangat penting dalam Islam.

Namun, selain membahas tentang keutamaan menuntut ilmu, buku ini juga mengingatkan kita tentang tujuan dalam berilmu. Segala aktivitas keilmuan harus diorientasikan pada suatu tujuan; semata-mata mengharap ridha Allah Swt., bukan untuk mendapatkan kenikmatan dunia. Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Barang siapa menuntut ilmu tidak karena mengharap ridha Allah, maka kelak di hari kiamat, ia tidak bisa mencium aroma surga.” (HR. Abu Dawud). Maka dari itu, pentingnya untuk selalu menjaga niat dan tujuan dalam berilmu agar selalu lurus semata-mata hanya mengharap ridha Allah Swt.

Dalam menuntut ilmu, ada macam-macam ilmu yang wajib, dianjurkan, tidak dianjurkan, bahkan dilarang untuk kita pelajari. Macam-macam ilmu itu dibagi menjadi dua, yakni ilmu syar’i dan ghairu syar’i. Ilmu Syar’i juga dibagi menjadi 2; ilmu yang diwajibkan dan yang disunahkan. Ilmu yang diwajibkan, contohnya adalah ilmu fiqih dan ilmu eksak. Sedangkan ilmu yang disunnahkan/dianjurkan, contohnya adalah ilmu tentang asal-usul dalil atau ilmu-ilmu fardhu kifayah. 

Selain itu, ilmu ghairu syar’i dibagi menjadi 3, yaitu pertama, ilmu yang dilarang (haram), contohnya adalah ilmu sihir, serta ilmu-ilmu yang mengantarkan seseorang kepada keraguan dalam meyakini eksistensi dan takdir Tuhan, seperti ilmu filsafat, sulap, ramalan bintang (astrologi). Kedua, ilmu yang tidak dianjurkan (makruh), contohnya adalah syair-syair yang dibawakan dengan disenandungkan yang diiringi dengan alunan musik. Ketiga, ilmu yang dibolehkan (mubah), contohnya ilmu yang sejatinya tidak memiliki manfaat kebaikan, tidak juga mengakibatkan keburukan.

Topik selanjutnya yang dibahas di dalam buku ini adalah etika guru dan etika murid. Dalam proses belajar-mengajar yang barokah, sudah sepatutnya baik guru maupun murid memiliki etika dan adab dalam berinteraksi satu sama lain agar terciptanya kenyamanan dan keharmonisan.

Pembahasan mengenai etika guru di buku karya Imam Nawawi ini sangatlah luas dan rinci. Ada beberapa etika personal yang harus diterapkan oleh para guru, yakni :

Pertama, seorang guru harus tahu tujuan dan niatnya dalam megajar adalah untuk mencari ridha Allah Swt., bukan untuk mencari kesenangan atau kepuasan duniawi. Kedua, guru harus senantiasa berperilaku baik. Artinya, segala tindak-tanduknya harus sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Semua ini karena perilaku guru harus menjadi contoh dan teladan yang baik bagi murid-muridnya. Ketiga, seorang guru harus menghindari sifat-sifat tercela, seperti suka mengancam, menghasut, pamer, atau bertingkah congkak dan sombong. Keempat, seorang guru harus senantiasa melanggengkan amalan dzikirnya. Kelima, seorang guru harus menyadari bahwa segenap gerak dan diamnya, ucapan dan perilakunya, senantiasa diawasi oleh Allah Swt. agar seorang guru senantiasa berada di jalan yang lurus. Dan yang terakhir, seorang guru tidak boleh semena-mena dalam menggunakan ilmunya. 

Dengan menerapkan etika-etika personal guru tersebut, para guru diharapkan dapat mampu membuat hubungan yang baik dan harmonis dengan para murid. Akan tetapi, sebagai seorang murid juga diperlukan adanya etika dalam belajar agar hubungan yang baik ini dapat berjalan dari dua arah. Etika-etika yang harus diterapkan oleh murid, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, murid harus menyucikan hatinya dari perkara yang dapat mencederai kesungguhan niatya dalam belajar. Kedua, murid harus bisa menyingkirkan segala hal yang bisa mengganggu konsetrasi belajarnya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Murid juga harus senantiasa rendah hati terhadap ilmu yang dipelajari, Selain itu, murid juga harus memosisikan gurunya sebagai orang yang layak dihormati dan senantiasa mencari keridhaan gurunya. Bahkan sabahat Ali bin Abi Thalib Ra. menyatakan bahwa memualiakan orang alim atau seorang guru adalah suatu kewajiban. Sebab, sejatinya ia seperti pohon kurma, ketika jatuh buahnya dan kau tidak berada di dekatnya, niscaya kau tidak akan mendapatkan apa-apa.

Di dalam buku Adab di Atas Ilmu ini juga sangat lengkap dan detail dalam menjelaskan etika-etika yang harus diterapkan antara murid dan guru dalam proses belajar mengajar. Bahkan, sebagian dari penjelasan etika tersebut juga disisipkan potongan ayat-ayat Al-Quran dan hadist yang shahih agar semakin memperkuat argumen dari setiap penjelasan. 

Selanjutnya, di dalam buku ini juga dijelaskan tentang etika bersama antara guru dan murid. Etika tersebut antara lain: Pertama, antara guru dan murid tidak boleh melupakan tugas dan kewajibannya masing-masing. Baik guru maupun murid tidak diperkenankan untuk menanyakan hal-hal yang menyusahkan, membuat bingung, atau dengan tujuan untuk merendahkan. Kedua, untuk memperlancar proses belajar mengajar, masing-masing dari guru dan murid hendaknya memiliki buku pelajaran sendiri-sendiri. Dan yang terakhir, orang yang meminjam harus mengucapkan terima kasih kepada orang yang meminjamkan (pemilik) karena kebaikannya. 

Dan topik terakhir yang dibahas dalam buku ini adalah etika dalam berfatwa. Berfatwa bukanlah hal yang mudah. Orang yang berfatwa (al-mufti) hanyalah orang-orang yang terpilih dan terpercaya yang dapat mengeluarkan fatwa. Sebagai seorang mufti juga harus mengetahui secara yakin dan pasti tentang fatwa yang akan dikeluarkan. Bahkan, Ibnu Abbas Ra. dan Muhammad bin ‘Ajlan selalu mengingatkan bahwa jika seorang mufti mendapat pertanyaan tentang masalah yang belum ia kuasai atau yang belum ia tahu pasti jawabannya, maka hendaknya ia menjawab tidak tahu atau diam daripada menjawab dengan penuh prasangka dan keragu-raguan. Itu berarti peran seorang mufti dalam mengeluarkan fatwa sangatlah besar terhadap orang yang diberi fatwa.

Di dalam buku ini juga lengkap menjelaskan tentang syarat-syarat pemberi fatwa, tingkatan pemberi fatwa, serta hukum-hukum seputar berfatwa agar dapat memberi informasi kepada pembaca bahwa pemberi fatwa bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan oleh sembarang orang.

Secara keseluruhan, buku Adab di Atas Ilmu ini adalah buku yang sangat bagus dan menarik untuk dibaca. Informasinya yang sangat detail dan menyeluruh dapat menambah wawasan pembaca mengenai adab yang baik dalam proses belajar mengajar. Sebagian informasinya juga dilengkapi dengan potongan ayat al-Quran atau hadist untuk memperkuat argumen. Bahasa yang digunakan dalam buku ini juga tergolong mudah untuk dipahami dan tidak berbelit-belit. 






Posting Komentar

0 Komentar