Kehidupan Seorang yang A’lim Oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

 

Seorang yang a’lim adalah seseorang yang menjadi tempat rujukan bagi seseorang untuk bertanya. Sebab di dalam kesehariannya pasti bersama ilmu dan pengamalannya. A’lim secara etimologi yaitu orang yang disifati dengan ilmu, atau orang yang bijak dalam menghadapi masalah (Syekh Yusuf al-Baqa’i:2008:426). Bahkan di dalam al-quran dan hadis nabi seseorang yang a’lim mempunyai kedudukan yang tinggi. Telah termaktub di dalam al-quran QS: Al-Mujadilah:11 (KH. Hasyim Asy’ari:2021:23)

يرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

            Adapun parameter derajat orang a’lim hanya Allah yang mengetahuinya. Namun interpretasi dari Abdullah bin Abbas RA, “Derajat Orang-orang A’lim (Ulama) di atas orang-orang mukmin yaitu dengan 700 derajat, diantara 2 derajat itu 500 tahun.(KH. Hasyim Asy’ari:2021:23)

              Pernyataan di atas membuktikan kehidupan seorang yang a’lim yaitu melalui jalan takwa dan melakukan amal-amal shalih sehingga ia bisa dikatakan manusia mulia. Sebagaimana hal tersebut tertuang di dalam QS Al-Bayyinah ayat 7-8:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ (7) جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ(8)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”

KH. Hasyim Asy’ari memberikan interpretasi dari dua ayat di atas bahwa Ulama yaitu mereka orang-orang yang takut kepada Allah dan mereka yang taat kepada Allah sehingga mereka menjadi sebaik-baiknya manusia di muka bumi (KH. Hasyim Asy’ari:2021:23). Namun tidak mudah menjadi seorang ulama sebab ia harus menjaga adab-adabnya dalam keseharian.

Imam Ghazali memberikan identifikasi adab bagi seorang a’lim yaitu ia melazimkan untuk terus menuntut ilmu, mengamalkan ilmunya, senantiasa padanya ketenangan, menghindari sifat takabur, setia bersama muridnya, tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, meluruskan prespektif bagi orang yang salah (Imam Ghazali: 2013:91).

Pernyataan Imam Ghazali di atas memberikan gambaran bahwa beban bagi seorang yang a’lim untuk tidak mengambil keputusan dengan terburu-buru. Sebab satu perkara yang ditanyakan oleh seseorang kepadanya harus dianalisis menurut al-quran, hadis, dan hujjah para ulama. Imam Ghazali melanjutkan bahwa seseorang yang a’lim dalam menjawab satu pertanyaan yang dilontarkan oleh seseorang terkadang ia katakan saya tidak tahu. Hal tersebut untuk ia mencari jawaban dari pertanyaan tersebut sehingga orang yang bertanya menjadi puas terhadap jawaban tersebut. (Imam Ghazali: 2013:91)

Maka dari itu seseorang yang yang a’lim kedudukannya bisa memberikan syafaat kepada kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Muhammad bersabda, “Ada tiga orang yang bisa memberi syafaat di hari kiamat: para nabi, kemudian ulama dan para syuhada.” (Imam Ghazali: 2008:18). Hadis tersebut memberikan satu perspektif bahwa duduknya bersama orang a’lim akan berimplikasi pada perubahan bagi diri ke arah yang lebih baik.

Rasulullah bersabda, “Hadir pada majelis seorang a’lim lebih utama dari shalat 1000 rakaat (shalat sunnah), menjenguk 1000 orang yang sakit, dan menyaksikan 1000 jenazah.”

 

 

 

 

           

 




Posting Komentar

0 Komentar