Berharaplah Pada Allah Semata! Disusun oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)


        Di dalam Al-Quran surat al-Ikhlas ayat 2 berbunyi Allahu al-Shamad, yang makna kontekstualnya adalah manusia harus berharap pada khalik jangan berharap pada makhluk. Jika kita berharap pada manusia maka akan ada kekecewaan. Dalam bahasa agama berharap pada Allah yaitu raja’. Berharap yang utama adalah dosa-dosa kita diampuni oleh Allah SWT. Sebagaimana Hadis Qudsi dimana Allah menyatakan: “Wahai Anak Adam, sesungguhnya apa-apa yang kamu munajatkan kepada-Ku dan k
au harapkan dari-Ku maka sungguh akan Aku maafkan kamu atas segala apa yang kau telah lakukan. walaupun engkau hanya bertemu Ku di bumi saja dalam keadaan salah maka Aku akan menemukanmu dalam kedekatan itu pula dengan memberi ampunan. Meskipun engkau berbuat salah yang kesahalannya mencapai langit, kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku maka Aku ampuni engkau dan tidak Aku pikirkan lagi.”

            Hadis qudsi di atas mengisyaratkan bahwa umat Islam harus sering beristigfar. Sebab istigfar symbol dari harapan seorang hamba Allah yang dosanya ingin dihapuskan. Bahkan pelafalan istigfar harus sering didawamkan baik setelah selesai solat mapun di luar sholat. Istigfar menurut Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki adalah salah satu pintu solusi terbesar bagi umat Islam. Bahkan melalui istigfar penyebab dimudahkan rezeki. Selain itu istigfar juga dapat menghapuskan dosa, menghilangkan segala kesulitan, serta menolak bala bencana. (Sayyid Muhammad al-Maliki:2017:481)

            Syekh Abubakar al-Warraq berkata, “Raja’ itu hiburan dari Allah yang diberikan dalam hati orang-orang yang memiliki rasa takut. Sebab Andaikan tidak ada hiburan tersebut tentu jiwanya akan hancur dan akalnya akan linglung.” (Syekh Abu Nashr As-Sarraj:2014:129)

            Perkataan Syekh Abubakar al-Warraq memberikan satu perspektif bahwa raja’ adalah hasil dari khauf (rasa takut kepada Allah). Melalui rasa takut kepada Allah maka ada harapan yang tercapai. Walaupun harapan tersebut datang cepat atau lambat.

            Al-Khauf menurut Habib Zein bin Ibrahim yaitu mengenal hati melalui keagungan Allah Swt, kekuasaan-Nya, serta pedih hukuman-Nya dan sakit siksaan-Nya. Buah dari khauf yaitu menahan dari apa-apa yang membuat Allah tidak ridho. Sebab dengan khauf tersebut mencegah manusia untuk berbuat maksiat dan sesuatu yang bertentangan dengan ketetapan Allah. (Habib Zein bin Sumaith:2006:146)

            Habib Zein bin Ibrahim Sumaith berkata, “Raja’ itu perasangka yang baik kepada Allah dengan sebab mengenal hati melalui keluasan rahmatnya Allah Taala yang agung penuh kelembutan, dan kesempurnaannya. Buahnya raja’ ialah akan berdampak amal-amal solih. Sebab  raja’ itu satu pondasi yang mengantarkan seorang hamba kepada bentuk ketaatan dan kepatuhan.”  (Habib Zein bin Sumaith:2006:146)

            Melihat pernyataan-pernyataan di atas bisa diambil satu kesimpulan bahwa khauf dan raja’ adalah dua termin tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebagaimana seorang ulama salaf berkata, “Andaikan khauf dan raja’ seorang mukmin ditimbang tentu keduanya akan berimbang.” (Syekh Abu Nashr as-Sarraj:2014:129)

            Syekh Soleh bin Abdul Karim berkata, “Sesungguhnya raja’ dan khauf (takut kepada Allah) itu adanya di hati, pada keduanya ada dua cahaya. Lantas Syekh Soleh ditanya? Manakah yang lebih terang sinarnya? Lalu Syekh Soleh menjawab, yang lebih bercahaya yaitu raja’. Lantas jawaban tersebut tersebut terdengar oleh Syekh Abu Sulaiman Ad-Darani, lalu beliau berkata, “Wahai Mahasuci Allah yang aku tercengang dengan perkataan tersebut, maka aku katakana al-terpancar pada dari al-khauf itu takwa, puasa, solat dan amal-amal baik. Sedangkan al-raja’ tidak terpancar darinya sebab ini adalah hasil kebiasaan dari amal-amal shalih tersebut.” Kemudian perkataan Syekh Abu Sulaiman sampai ke Syekh Soleh, lalu beliau menjawab Syekh Abu Sulaiman benar, akan tetapi raja’ itu kembali pada kemuliannya, sampai ia menjadi benar-benar bersinar.” (Abdul Malik An-Naisaburi:2018:186)

            Syekh Abu Nashr As-Sarraj ditanya oleh seseorang apa hubungan al-Khauf dan al-Raja’? Beliau Menjawab, “Keduanya merupakan kendali bagi diri (nafsu) manusia, sehingga ia tidak keluar menuju pada kepentingannya yang gegabah dan sulit dikendalikan atau merasa aman dan putus asa.” (Syekh Abu Nashr as-Sarraj:2014:130)

 

 

           

 

 

               




Posting Komentar

0 Komentar