Kemaslahatan Pada As-siyasah Al-syar’iyyah oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si, CETP (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)


            Politik dalam bahasa Arab yaitu as-siyasah. Termin tersebut bersandar pada kepentingan untuk mencapai maslahat. Tentu maslahat tersebut bukan untuk pribadi dan golongan akan tetapi untuk kesejahteraan masyarakat. Nabi Muhammad saw dalam kepemimpinan politiknya selalu memperhatikan dan mempertimbangkan kemaslahatan dan tidak jarang beliau menunda dan mengurungkan satu tindakan yang baik demi kemaslahatan umum. Antara lain sabda beliau kepada Aisyah r.a yang menyatakan: “Wahai Aisyah, seandainya kaumku bukan orang-orang yang baru masuk Islam, niscaya akan ku pugar Ka’bah dan membuat untuknya, satu untuk masuk dan yang kedua untuk keluar.” (Quraish Syihab:2023:34)

            Ibnu Hajar al-Asqalani mensyarahi hadis di atas, “Dari hadis tersebut menunjukkan bahwa  pemimpin bertugas menyiasati atau mengatur demi kemaslahatan rakyatnya walau pengaturan itu tidak sepenuhnya yang terbaik, namun ia ditempuh karena itulah yang lebih maslahat untuk mereka.” (Quraish Syihab:2023:35).   

            As-siyasah al-syar’iyyah, satu istilah yang mengkorelasikan antara politik dan Islam yang berimplikasi pada maslahat kepada rakyat. Imam Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya Ulum al-din cenderung berperan dalam menjalankan As-siyasah al-syar’iyyah adalah para nabi, para sultan, ulama, dan penganjur agama. sedangkan Ibnu Khaldun memaknainya sebagai media yang mengantarkan semua pihak ke arah yang dikehendaki agama demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun berkata di dalam kitab al-muqaddimahnya, “Karena urusan dunia dalam pandangan syariat kembali kepada kemaslahatan akhirat sehinga ia pada hakikatnya adalah penugasan dari Tuhan dalam hal pemeliharaan agama dan pengelolaan dunia.” (Quraish Syihab:2023:36)

            Pernyataan dari Ibnu Khaldun di atas bisa diambil satu perspektif bahwa as-siyasah al-syar’iyyah bisa berjalan dengan baik jika seorang pemimpin itu religius, humanis, amanah, demokratis dan adil. Pemimpin yang religius yaitu hubungan antara dirinya dengan Tuhan-nya sangatlah baik, sehingga ia berhati-hati dalam membuat kebijakan untuk rakyatnya. Pemimpin yang humanis adalah pemimpin yang memperhatikan hak asasi manusia. Pemimpin amanah yaitu pemimpin yang jujur dan akuntable dalam menetapkan kebijakan untuk rakyatnya. Pemimpin yang demokratis yaitu pemimpin yang tidak memaksakan kehendak kepada rakyatnya dan mendengar aspirasi mereka. Pemimpin yang adil yaitu pemimpin konsisten antara perkataan dan tindakan, sehingga rakyat akan menilai pemimpinnya mempunyai daya integritas yang tinggi.

            Sedangkan Imam Mawardi mengatakan bahwa pemimpin yang bisa menjalankan as-siyasah al-syar’iyyah mempunyai beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain:

1.   Al-adalah, termin tersebut bermakna bahwa pemimpin tersebut melaksanakan ajaran agama dengan baik, menghindari dosa-dosa besar dan tidak berulang-ulang melakukan dosa kecil sambil memelihara harga diri yang melahirkan kepercayaan dan penghormatan masyarakat untuknya.

2.  Pengetahuan yang menjadikan seseorang yang mampu berijtihad. Pengertian ijtihad dalam konteks kepemimpinan negara/pemerintahan untuk masa kini adalah kemampuan memahami persoalan dan menarik kesimpulan yang sesuai tuntunan agama

3.     Kesehatan fisik, pendengaran, penglihatan, serta lidah

4.     Tidak terhalangi oleh sesuatu yang menghambanya melakukan aktivitas secara wajar

5.     Kematangan berfikir yang mengantarnya mampu membimbing masyarakat dan mengendalikan negara

6.     Keberanian dan kesiapan membela masyarakat dan negara dalam gangguan apapun

 

 

           

 

 




Posting Komentar

0 Komentar