Allah
menciptakan bumi dan seisinya hanya untuk manusia semata. Tentu dengan
penciptaan-Nya, kita harus selalu bersyukur tanpa batas kepada-Nya. Medium
bersyukur kepada Allah Swt yaitu beribadah kepada-Nya. Karena memang manusia
diciptakan untuk taat dan patuh kepada Sang Khalik. Sebagaimana Allah
berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS
Al-Zariyat/51:56)
Namun termin ibadah dalam ayat tersebut
tidak melulu dipersepsikan dengan ibadah vertikal saja akan tetapi manusia
harus memperhatikan ibadah horizontal. Ibadah horizontal yaitu berkaitan
hubungan baik antar sesama manusia atau dengan kata lain muamalah. Mencari nafkah adalah
salah satu ibadah ghairu mahdah yang wajib bagi setiap muslim. Mesti dalam
pencarian rezeki tersebut, seorang muslim harus mencarinya dari hasil yang
halal. Sebagaimana firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ
مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di
jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS Al-Baqarah/2:267)
Sungguh ada
perbedaan di kalangan ulama mengenai pencarian nafkah yang
paling baik. Sebagian ulama mengatakan bahwa pekerjaan paling baik yaitu pengrajin dari buah tangan, Sebagian ulama mengatakan bahwa
pekerjaan yang baik yaitu berdagang, dan sebagian ulama lain mengatakan bahwa
bercocok tanam adalah salah satu pekerjaan yang paling baik. Adapun
pernyataan-pernyataan tersebut semuanya mengadung kebenaran (Al-Hubaisi:2017:47).
Namun ada satu hadis yang diriwayatkan oleh Sai’d bin Umair bahwa ia berkata
bahwa nabi Muhammad Saw pernah ditanya:
أي المكاسب أفضل ؟ فقال رسول الله عليه و سلم: عمل الرجل
بيده، و كل بيع مبرور
Pekerjaan
apa yang paling baik? Maka nabi Rasulullah Saw menjawab yaitu pekerjaan
seseorang dari hasil tangannya, dan setiap penjualan yang mabrur. (HR. Hakim)
Adapun Abu Ubaid memberikan statment
bahwa kata al-mabrur dalam hadis tersebut yaitu ia yang tidak bercampur atas
penjualan tersebut dari berbohong dan tidak pula
sesuatu mengadung penipuan. Imam Hubaisi mengatakan bahwa mabrur di hadis
tersebut yaitu tidak mengandung sesuatu yang syubhat, penipuan, dan curang
(Al-Hubaisi:2017:48). Di sisi lain bai’in mabrur bisa dimaknai dengan bisnis
yang jujur dan amanah.
Bisnis
adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui
proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Nabi
Muhammad adalah seorang pebisnis yang handal. Sang Mujtaba aktif di bidang
perdagangan pada usia pertengahan 30-an. Tiga dari perjalanan dagang Nabi
setelah menikah, telah dicatat dalam sejarah: pertama, perjalanan dagang ke
Yaman, kedua, ke Najd, dan ketiga ke Najran. Diceritakan juga bahwa di samping
perjalanan-perjalanan tersebut, Nabi terlibat dalam urusan dagang yang besar,
selama musim-musim haji, di festival dagang Ukaz dan Dzul Majaz. Sedangkan
musim lain, Nabi sibuk mengurus perdagangan grosir pasar-pasar kota Makkah.
(Veithzal Rivai Zaina, et.al:2022:20)
Imam Ghazali mengatakan bahwa di
dalam perdagangan itu harus memperhatikan tiga rukun: ada aqid (seorang
penjual dan pembeli), ma’qud a’laih (objek transaksi), dan lafadz (ijab
qabul). Seyogyanya, seorang pedagang tidak boleh bertransaksi dengan empat
orang di antaranya: seorang anak kecil, seorang yang kurang waras, hamba
sahaya, dan orang yang buta. Menurut Imam Syafi’i seorang anak kecil yang belum
mukallaf (seorang yang belum dibebani syariat) dan seorang yang kurang waras
dalam bertransaksi jual beli harus diwakili oleh seseorang yang mukallaf.
Sedangkan seorang hamba sahaya yang berakal tidak sah jika bertransaksi jual
beli kecuali mendapatkan izin dari tuannya. Adapun seorang yang buta, ia tidak
boleh bertransaksi dalam jual beli disebabkan ia tidak bisa melihat sehingga tidak
sah didalam muamalah tersebut. Namun ia boleh menyuruh orang lain dalam
mewakili transaksi jual belinya. (Imam Ghazali: 1428H: 74)
Berbicara maq’ud a’laih itu
harus ada empat macam syarat-syarat dalam objek akad. Diantaranya, barang yang
dijual harus ada ketika akad, barang harus sesuai ketentuat sya’ra,
dapat diberikan waktu akad, dan barang harus suci. Imam Muhammad Jalaluddin
al-Dimasyqi memberikan perhatian di dalam objek transaksi jual beli. Perhatian
tersebut berupa keridhoan antara si penjual dan si pembeli. Hal tersebut
ditunjukkan dengan barang yang dijual oleh penjual harus sama persis dengan apa
yang diinginkan pembeli. Seperti yang dikatakan olehnya ketika ada seorang
penjual sandal akan tetapi antara sandal kanan dan kirinya berbeda baik dari
segi bentuk dan ukurannya. Maka tidak sah dalam pembeliannya. (Imam Muhammad
Jalaluddin al-Dimasyqi:2005:117).
Melihat pernyataan Imam Jalaluddin, maka
sahnya transaksi jual beli dilihat dari kepuasan si penjual dan si pembeli.
Artinya si penjual mendapatkan keuntungan di dalam penjualannya dan si pembeli
mendapatkan barang yang diinginkan. Namun barang yang dijual tersebut tidak
mengandung syubhat atau haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah/2:173)
Fenomena penjualan sesuatu yang diharamkan ini
seakan lumrah terjadi di negeri ini. Seperti di online shop kini menjual marus
atau darah daging sapi. Berbagai tafsir menjelaskan, masyarakat Arab jahiliyah
menuang darah hewan ternak pada usus lalu membakarnya, kemudian memakannya
ketika masak. Allah mengharamkan praktik memakan darah pada era Islam
(Az-Zuhaili:1404 H:649). Selain itu ada toko sepatu yang menjual sepatu dengan
kulit babi. Tentu penjualan itu juga haram. Sebab kulit yang digunakannya itu
dari hewan yang telah diharamkan oleh syariat.
0 Komentar