Perlukah Mursyid Pada Urban Sufisme oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)



Urban Sufisme, modernisasi pada dunia tasawuf. Termin itu bisa dimaknai sufi perkotaan yang digagas oleh Julia D Howell. Termin tersebut juga  transformasi dari tasawuf modern yang digagas oleh Buya Hamka dan Fazrul Rahman. Termin ini muncul akibat kejenuhan masyarakat kota dengan urusan duniawiyah. Sehingga tasawuf ini berbeda dengan tarekat muktabarah pada umumnya. Artinya, urban sufisme tidak perlu baiat dan atau sumpah pada tarekat tertentu. Melainkan cukup dengan mengikuti kajian-kajian ringan biasa bahkan bisa mengikutinya dalam media online, seperti youtube.[1]

Padahal perkembangan tasawuf pada abad ke-5 atau abad ke-13 M yaitu dengan lembaga sufisme atau biasa yang disebut dengan tarekat. Adapun tarekat diambil dari bahasa Arab yaitu thoriqoh. Thoriqoh secara etimologi yaitu tata cara, jalan, atau aliran.[2] Imam al-Jurjani menyatakan bahwa tarekat jalan khusus bagi orang-orang salikin untuk menuju Allah swt dengan cara memutus kehidupan dan naik kederajat yang tinggi melalui maqamat.[3] Sedangkan Martin Van Bruinessen mendefinisikan tarekat ialah secara harfiah berarti jalan mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan (muraqabah, zikir, wirid, dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi.[4]

Pernyataan Imam al-Jurjani di atas menunjukkan bahwa tarekat merupakan jalan seorang salik untuk mencari jati dirinya melalui dekat dengan Allah Swt. Namun untuk sampai kepada-Nya membutuhkan hirarki atau maqam. Maqam semacam perjalanan ruhaniah bagi seorang sufi. Adapun perjalanan ruhaniah antara seorang sufi dan sufi lainnya berbeda. Seperti maqam yang ditempuh Abu Nashr al-Sarraj yaitu taubat, wara’ zuhud, faqir, sabar, tawakal, dan ridho. Lain halnya Imam Ghazali menempuh sepuluh maqam yaitu taubat, sabar, syukur, raja’, khauf, faqir, zuhud, tauhid, tawakal, dan mahabah.[5]

Sedangkan pendapat Martin Van Bruinessen memberikan satu perspektif bahwa tarekat merupakan jalan menuju kenyamanan bathin. Sebab kenyamanan bathin yang membuat seseorang bisa mengendalikan ego dan hawa nafsu. Adapun cara-caranya yaitu melalui dzikrullah sebagai jalan penyucian jiwa (tazkiah al-nafs). Biasanya, di dalam tarekat ada tradisi yang tidak bisa dihilangkan. Mulai dari silsilah tarekat yang selalu direlasikan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad tertentu. Setiap tarekat wajib memiliki mursyid (guru), kaifiyah zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing. Pada umumnya, seorang mursyid mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan suluk atau ribath.[6]

Di sinilah terdapat perdebatan akademis terjadi antara perkembangan tasawuf dengan urban sufisme. Seolah-olah Howell menyederhanakan, baik substansi ajaran (doktrin), terlebih tradisi praktik dalam dimensi sufisme itu luas dan mendalam.[7] Sebab ia menelisik fakta yang terjadi pada muslim kelas menengah ke atas yang minat mendalami agamanya melalui sumber pendidikan Islam yang tidak ada sebelumnya. Sumber-sumber ini tidak hanya meliputi buku, majalah, pamphlet, kolom surat kabar, tetapi juga  acara-acara televisi yang semakin banyak tentang Islam, sejak akhir tahun 1990-an, situs Internet.[8]

Untuk itu Howell melihat ada gejala sosiologis pada masyarakat menengah ke atas  di Jakarta yang butuh  pada gairah spiritualitas gaya baru. Mereka jenuh dengan rutinitas duniawiyah yang mendorong untuk hidup individualis dan hedonis. Sehingga kejenuhan tersebut yang membuat mereka  Majelis Zikir, Majelis Taklim, bahkan lembaga kajian, datang dalam rangka zikir dan wirid dalam upaya tazkîyat al-nafs.[9]

Menjelang akhir 1990-an, fenomena gairah spiritualitas pada masyarakat menengah ke atas  menjadi peluang bagi cendikia-cendikia dan intelektual-intelelektual muslim untuk mendirikan lembaga pendidikan untuk menawarkan pembelajaran agama yang dikemas secara modern. Diantara lembaga tersebut Pusat Studi Paramadina, Tazkia Sejati, ICNIS (Intensive Course and Networking for Islamic Science), IIMaN ( Indonesian Islamic Media Network) dan sayap pendidikan beberapa masjid besar, seperti At-Tin, Al-Azhar, dan Istiqlal. Pendekatan yang digunakan pada kajian-kajian tersebut ialah kritis-rasional. Biasanya program-program lembaga tersebut terpaku pada pemahaman atau bedah buku-buku keislaman.[10]

Menariknya, pada tahun 2000-an, masyarakat menengah ke atas dan kaum terpelajar di Jakarta tertarik terhadap kajian sufistik dengan menghindari tarekat.[11] Mereka beranggapan bahwa tarekat dianggap feodalistik di masa modern ini disebabkan ada kelas mursyid dan salik (murid). Sehingga murid dituntut untuk melakukan sami’na wa atho’na apa yang mursyid perintahkan.

Padahal mursyid mempunyai tujuan mulia untuk menyelamatkan seorang murid dalam menapaki jalan khusus. Sehingga para murid menyadari betapa penting mursyid untul sampai kepada Allah (wushul). Dalam dunia kosmologi tasawuf, para salik yang berjalan tanpa bimbingan rohani seorang mursyid maka ia akan sulit untuk membedakan mana bisikan-bisikan lembut (hawatif) yang datang dari Allah melalui malaikat atau dari Allah melalui malaikat atau dari setan atau jin.[12]

 



[1] Urban sufisme: “Jalan menemukan kembali humanitas yang hilang akibat modernitas.” (Universitas Indonesia : Jurnal Tasawuf 1 (1). 2012). Hlm. 107

[2] Yusuf Muhammad al-Baqa’I, Mu’jam al-Thulab, Marocco: Dar al-Ma’rifah: 2008, h. 410

[3] Al-Sayyid Haidar al-Amali, Asrar al-Syariah wa Athwaru al-Thoriqoh wa Anwaru al-Haqiqah, Cairo: Dar al-Hujjat al-Baido, h. 10

[4] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan: 1996, h. 15

[5] Abu Muhammad Rahim al-Din, al-Tasawuf al-Amali, Cairo: Maktabah Ummu al-Quro: 2009: h.100-101

[6] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu  Tarekat (Untaian tentang Mistik), Jakarta: Fa H.M. Tawi & Son, 1966, h.5

[7] [7] Rubaidi, “Reorientasi Ideologi Urban Sufisme di Indonesia terhadap Relasi Guru dan Murid dalam Tradisi Generik Sufisme Pada Majelis Shalawat di Surabaya”. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 5, No. 2, Desember 2015, h.295

[8] Julia D Howell dkk, Urban Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h.393

[9] Oman Fathurahman, “Urban Sufism: Perubahan dan Kesinambungan Ajaran Tasawuf” dalam Rizal Sukma dan Clara Joewono (eds.), Gerakan dan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer (Jakarta: CSIS, 2007), 123

[11] Julia D Howell dkk, Urban Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h.396

[12] Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern (Jalan Mengenall dan Mendekatkan Diri kepada Allah Swt, Jakarta: Republika:




Posting Komentar

0 Komentar