Memotivasi Resolusi Perubahan di Tahun 2024 oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si, CETP (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

 

              Syekh Abdul Fattah Abu Guddah berkata, “Wajib bagi manusia untuk berhati-hati terhadap waktu yang dijalani dalam kehidupannya.” Pernyataan tersebut tentu memotivasi kita untuk menggunakan waktu secara efektif dan efisien. Sebab waktu terus berjalan tanpa kenal henti dan memakan usia manusia itu sendiri. Sehingga tanpa kita sadari, sejauh mana kita untuk mematuhi perintah sang khalik dan menjauhi larangannya.

            Allah telah berfirman di dalam QS Al-Hijr:38, “Sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.” Ayat tersebut menunjukkan bahwa waktu itu mengalir dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Apa kita terlena dengan kecepatan dan percepatan waktu tersebut. Keterlenaan manusia biasanya mencari kenyamaanan kehidupan di dunia dan melupakan hidup enak kelak di akhirat. Tentu boleh saja kita mencari kehidupan yang layak di dunia. Karena kehidupan yang mapan di dunia bisa membantu orang lain dan bermanfaat bagi orang lain. Namun berapa banyak dari manusia dengan kemapanan tersebut seolah datang dari ikhtiyarnya sendiri dan melupakan rezeki yang telah diberikan Rabb-nya.

            Untuk itu, menyongsong tahun 2024, seorang muslim harus meresolusi dirinya untuk sadar  bahwa dunia dipersembahkan bagi manusia sebagai tempat untuk mengabdi pada Sang Pencipta. Pengabdian tersebut berupa menjalani ketaatan dan ketakwaan di dalam hidup. Pada ghalibnya, kehidupan ini perlu perjalanan yang indah, perjalanan yang mendapatkan cinta Allah Swt. Sebab meraih cinta manusia itu mudah, dan meraih cinta Allah butuh kesadaran.

             Cinta kepada manusia didapat melalui sesuatu yang diberikan, atau pujian untuknya. Sehingga dengan kondisi tersebut hati manusia itu akan luluh dan menganggap pujian tersebut bentuk kesetiaan pada dirinya. Namun berbeda dengan para ulama salafuna salih, mereka paling benci ketika ada seseorang yang memuji diri mereka. Oleh karena pujian yang agung itu hanya ditujukkan kepada Allah Swt, zat yang maha Agung dan Tinggi. Maka umumnya mereka yang berpendapat, “Janganlah kalian memuji aku, sebab pujian yang agung hanya ditujukkan kepada Allah Azza wa Jalla.”

            Di sisi lain, meraih cinta Allah tidak cukup hanya dengan pujian saja. Akan tetapi diikuti dengan pembuktian. Bukti tersebut melalui pelaksanaan ibadah, baik ibadah wajib dan ibadah sunnah, berhubungan dengan manusia lainnya dengan baik, dan melestarikan alam yang telah diciptakan. Konteks tersebut bersesuaian dengan hablun minnawlah, hablun minannas, dan hablun minal alam. Ketika ketiga konteks tersebut dijalankan oleh manusia, maka segala munajat akan dipenuhi-Nya. Wawlahu a’lam. 



Posting Komentar

0 Komentar