Amanah bukanlah Sebuah Hadiah Oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si, CETP (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)


Hidup itu anugerah dan amanat dari Allah swt kepada hamba-hamba-Nya. Artinya Sang Pencipta masih mempercayakan kepada seseorang untuk beraktivitas dan menjalani rutinitasnya. Namun pola kehidupan yang dijalaninya harus disertai dengan ibadah sebagai tanda syukur kepada-Nya. Melalui hal yang demikian manusia semakin mengerti dan memahami bahwa kehidupan yang dijalani ialah kesempatan yang untuk semakin dekat kepadanya. Sebagaimana Rasulullah bersabda,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ

Artinya: "Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu." (HR Al Hakim dalam Al Mustadrak-nya)    

Amanah secara terambil dari bahasa Arab yaitu amina, yakni merasa aman. Dari akar kata yang sama, lahir kata iman (percaya) dan aman, yakni antonym kata bahaya. Ketiga kata tersebut saling berkaitan. Amanah diserahkan oleh pemiliknya kepada yang dipercaya akan memelihara amanah itu dan bahwa apa yang diserahkan itu aman di tangannya (Quraisy Syihab:2016:162). Dalam konteks tersebut Nabi Muhammad bersabda, “Tidak ada iman bagi seseorang yang tidak memelihara amanah dan tidak ada agama bagi yang orang tidak memelihara janjinya.” (HR. Ahmad).

            Melalui hadis di atas bisa diambil satu perspektif bahwa korelasi antara iman itu berbanding lurus. Ketika seseorang tidak menunaikan amanahnya maka ia tidak mempunyai iman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Maka orang-orang terdahulu sangat berhati-hati dalam menerima amanah. Apalagi mereka yang memohon jabatan atau kekuasaan. Jika seseorang yang tidak mempunyai kompetensi diberikan amanah berupa jabatan maka akan hancur dalam keputusan dan kebijakannya.

            Sebagaimana dahulu, Abu Dzar RA, pernah memohon dan meminta jabatan kepada Nabi Muhammad. Namun beliau menolak memberinya sambil bersabda, “Wahai Abu Dzar, sungguh engkau ini lemah.” Sedang itu (Jabatan yang engkau pinta) adalah amanah dan akan menjadi kehinaan dan penyesalan di Hari Kemudian, kecuali siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan apa yang seharusnya ia laksanakan menyangkut amanah itu.” (HR. Muslim)

            Melalui hadis di atas bisa diambil satu pandangan bahwa amanah sama dengan tanggung jawab dan adil. Sebagaimana Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS Al-Nisa [4]:58)

            Ayat di atas memberikan gambaran kepada manusia bahwa amanah itu bukanlah sebuah hadiah, akan tetapi sebuah beban dalam bentuk tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul (Abdillah Toha: 2020:187). Maka dari itu amanah harus dijalankan secara bijak dan penuh kehati-hatian. Apabila seseorang diamanahkan sebagai pejabat atau petinggi ia harus memperhatikan bawahannya atau orang-orang yang menjadi tanggungannya. Jika ada seseorang bawahan yang merasa tidak adil terhadap kebijakan seorang pemimpin maka ini akan menjadi resiko yang akan diterimanya di kemudian hari.

            Sebagaimana Rasulullah bersabda

إذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saat  kehancurannya (kiamat).” (HR. Bukhari)

 




Posting Komentar

0 Komentar