Persoalan etika dan agama memang
menjadi 2 hal yang tidak perlu untuk dipertentangkan. Etika memang tak bisa
mengganti peran agama, melainkan etika bisa membantu agama untuk memecahkan
berbagai macam masalah yang rumit dan sulit. Sebelum menjelaskan lebih lanjut
mengenai hubungan etika dan agama di lingkungan masyarakat, alangkah baiknya
kita mengulas lebih dalam mengenai persoalan etika, baru membahas mengenai
agama, secara sederhana, satu-persatu.
Secara sederhana, etika bisa
dikatakan sebagai salah satu ilmu yang mempelajari secara sistematis, mengenai
moralitas dan memberikan suatu bentuk penilaian terhadap tindakan moral.
Walaupun demikian, etika dalam pandangan Magnis Suseno, dia tak memiliki
pretensi secara langsung untuk membuat diri pribadi manusia menjadi lebih baik
ke depannya. Dengan demikian etika dapat juga dikatakan sebagai sebuah
pandangan filosofis dalam melihat perilaku manusia. Perilaku tersebut tercermin
dalam tindakan moralnya. Sehingga seseorang tidak perlu beretika untuk membuat
tindakan moral. Moral merupakan tindakan yang tidak terikat oleh apapun,
termasuk agama. Orang bisa betindak moral tanpa harus beragama dan sebaliknya
orang beragama bisa bertindak amoral.
Dalam bahasa Yunani etika berarti
ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan
sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah,
mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral,
serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral. Dalam bahasa
Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai
arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak
perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah
adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka
“etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan.
Sedangkan Definisi agama dapat
dirujukan pada makna ad-dien (Arab) atau religion (Inggris). Dalam bahasa
Sanskrit, agama berasal dari dua kata yaitu “a” berarti “tidak” dan „“gam”
berarti “pergi”. Jadi, agama mengandung arti “tidak pergi”, tetap di tempat,
diwarisi turun temurun. (Ahmad Dahlan,|Vol.6|No.1|Jan-Jun 2008|71-9018). Argumentasi
pendapat ini didasarkan pada kenyataan agama dalam kehidupannya ternyata memang
mempunyai sifat turun-temurun atau kebanyakan anak-anak akan belajar dan
menganut agama sesuai dengan agama orangtuanya.
Secara terminologis agama merupakan
suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia
dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang dibahas
dalam agama adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungan antara manusia
dengan Tuhan, (St. Sunardi, dikutip dari Ahmad Dahlan) sedangkan faham yang
tidak mengakui agama biasa disebut “atheisme”. Dari definisi semakin
memperjelas bahwa terdapat hubungan kuat agama dalam pengembangan ilmu dan
etika. Apalagi Al-Qur‟an, sebagaimana yang ditulis Dr. A. Mukti Ali, merupakan
kitab suci yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu-ilmu dalam beragam
disiplin, sedangkan nilai-nilai dalam etika merupakan pengendali dari sikap dan
perilaku manusia dalam mengimplementasikan ajaran agama dan kekuatan ilmu dalam
kehidupan nyata (empiris).
Agama memberi doktrin kebenaran yang
tidak mungkin diubah oleh manusia. Agama menganggapnya wahyu yang absolut,
tetapi bisa ditafsirkan. Karena itu ketika agama bersentuhan dengan etika, maka
ajaran agama sebagai yang absolut tidak mungkin diubah, tetapi dalam
keabsolutannya etika mempunyai peran untuk menjaga para penafsir untuk tidak
menjadi bias. Dengan racionalitas etika maka agama dapat dipahami dalam
konteksnya.
·
Hubungan Etika dan Agama
Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa etika dan agama adalah dua hal yang tidak harus dipertentangkan. Antara
etika dan agama adalah dua hal yang saling membutuhkan, atau dalam bahasa
Sudiarja “agama dan etika saling melengkapi satu sama lain”. Agama membutuhkan
etika untuk secara kritis melihat tindakan moral yang mungkin tidak rasional.
Sedangkan etika sendiri membutuhkan agama agar manusia tidak mengabaikan
kepekaan rasa dalam dirinya. Etika menjadi berbahaya ketika memutlakan racio,
karena racio bisa merelatifkan segala tindakan moral yang dilihatnya termasuk
tindakan moral yang ada pada agama tertentu.
Hubungan etika dan agama akan membuat
keseimbangan, di mana agama bisa membantu etika untuk tidak bertindak hanya
berdasarkan racio dan melupakan kepekaan rasa dalam diri manusia, pun etika
dapat membantu agama untuk melihat secara kritis dan rasional tindakan–tindakan
moral. Bahwa kepelbagaian agama adalah salah satu hal yang membuat kita juga
menjadi sadar betapa pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Tidak dapat kita
bayangkan bagaimana kehidupan manusia yang berbeda agama tanpa etika di
dalamnya. Kebenaran mungkin justru akan menjadi sangat relatif, karena
kebenaran moral hanya akan diukur dalam pandangan agama kita. Diluar agama kita
maka tidak ada kebenaran. Etika dapat dikatakan telah menjadi jembatan untuk
mencoba menghubungkan dan mendialogkan antara agama-agama.
Kita dapat mengatakan bahwa etika,
secara filosofis menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan agama-agama,
khusunya bagi negara-negara yang majemuk seperti Indonesia. Etika secara
rasional membantu kita mampu untuk memahami dan secara kritis melihat tindakan
moral agama tertentu. Kita tidak mungkin menggunakan doktrin agama kita untuk
melihat dan menganalisis agama tertentu. Sebuah pertanyaan menarik akan muncul,
jika sekiranya agama hanya satu apakah dengan demikian etika tidak lagi
dibutuhkan? Karena agama tersebut akan menjadi moral yang mutlak dalam
kehidupan manusia. Kalau kita tetap memahami bahwa etika hadir untuk secara
rasional membantu manusia memahami tindakan moral yang dibuatnya, maka tentu
etika tetap menjadi penting dalam kehidupan manusia. Karena etika tidak akan
terikat pada apakah agama ada atau tidak etika akan tetap ada dalam hidup
manusia selama manusia masih menggunakan akal sehatnya dan racionya dalam kehidupannya.
Sekalipun manusia menjadi ateis, etika tetaplah dibutuhkan oleh mereka yang
tidak mengenal agama.
Pertanyaan berikut yang akan muncul
adalah apakah cukup kita ber-etika tanpa ber-agama? Jika kita mencoba memahami
secara filosofis, maka dapat dikatakan bahwa etika tanpa agama adalah kering,
sebaliknya agama tanpa etika hambar. Bahwa manusia tidak hanya diciptakan
sebagai mahluk rasional, tetapi melekat dalam dirinya mahluk religius yang
membuat dia mampu berefleksi terhadap kehidupannya. Karena itu agama akan
membantu manusia untuk bertindak tidak hanya berdasarkan rasionya tetapi juga
berdasarkan rasa yang ada dalam dirinya. Satu kesatuan antara rasio dan rasa
yang melekat dalam diri manusia. Manusia bukanlah mahluk egois yang harus
mengandalkan rasionya semata-mata.
·
Fungsi Etika dan Agama Dalam
Kehidupan Sosial
Para pemikir Islam maupun pemikir
Barat kontemporer sama-sama menyadari bahwa manusia saat ini berada pada puncak
krisis yang akut, dimana kehadiran sains dan teknologi modern telah mereduksi
eksistensi kemanusiaan sebagai potensi ideal dan kekuatan dalam mendesain
peradaban modern. Jauh sebelum Karl Marx merasakan adanya fenomena penindasan
oleh berjuis dan kapitalis alat dan modal yang telah meredekreditkan dimensi
kemanusian sehingga zaman modern adalah zaman dimana manusia benar-benar hidup
secara real dan harfiah dalam bumi yang satu. Dalam menyikapi keadaan tersebut,
dibutuhkan sikap yang lebih apresiatif dan aktif dalam memfungsikan nilai-nilai
etika dan agama dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan.
Berbicara masalah etika dan agama
tidak terlepas dari masalah kehidupan manusia itu sendiri. Olehnya itu, etika
dan agama menjadi suatu kebutuhan hidup yang memiliki fungsi. Etika adalah
sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat
tertentu yang berfungsi :
· mengajarkan
dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari
tingkah laku yang buruk.
· etika mengatur dan mengarahkan citra manusia
kejenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia.
· Etika
menuntut orang agar bersikap rasional terhadap semua norma. Sehingga etika
akhirnya membantu manusia menjadi lebih otonom.
· Etika
dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis yang dapat membedakan antara yang
sah dan tidak sah, apa yang benar dan apa yang tidak benar.
· Etika
memberi kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut
menentukan arah perkembangan masyarakat.
Sedangkan agama yang kebenarannya
absolut (mutlak) berfungsi :
sebagai petunjuk, pegangan serta
pedoman hidup bagi manusia dalam menempuh kehidupannya dengan harapan penuh
keamanan, kedamaian, sejahtera lahir dan batin.
· Agama
sebagai sistem kepercayaan.
· agama
sebagai suatu sistem ibadah.
· agama
sebagai sistem kemasyarakatan.
· Agama
merupakan kekuatan yang pokok dalam perkembangan umat manusia.
· Agama
sebagai kontrol moral.
Sebagai contoh dalam kehidupan modern
yang serba pragmatis dan rasional, manusia menjadi lebih gampang kehilangan
keseimbangan, mudah kalap dan brutal serta terjangkiti berbagai penyakit
kejiwaan. Akhirnya manusia hidup dalam kehampaan nilai dan makna. Ketika itu
agama hadir untuk memberikan makna. Ibarat orang tengah kepanasan di tengah
Padang Sahara. Agama berfungsi sebagai pelindung yang memberikan keteduhan dan
kesejukan, serta memiliki ketentraman hidup. Dengan demikian, ajaran agama
mencakup berbagai dimensi kehidupan manusia (multi dimensional) senantiasa
dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tidak pernah mengenal istlah
ketinggalan zaman (out of date). Kedua fungsi tersebut tetap berlaku dan
dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Etika mendukung keberadaan agama, dimana
etika sanggup membantu manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan
masalah. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional sedangkan agama
mendasarkan pada wahyu Tuhan. Dalam agama ada etika dan sebaliknya. Agama
merupakan salah satu norma dalam etika.
Dengan demikian hubungan
antara etika dengan agama sangat erat kaitannya, yakni adanya saling isi
mengisi dan tunjang menunjang antara satu dengan yang lainnya. Keduanya
terdapat persamaan dasar, yakni sama-sama menyelidiki dan menentukan ukuran
baik dan buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia. Olehnya itu, etika
dan agama menjadi suatu kebutuhan hidup yang memiliki fungsi dan tetap berlaku
dan dibutuhkan dalam kehidupan sosial, misalnya dalam hal perpolitikan, hukum,
ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Etika mendukung keberadaan agama, dimana
etika sanggup membantu manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan
masalah. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional sedangkan agama
mendasarkan pada wahyu Tuhan yang kebenarannya absolut (mutlak).
0 Komentar