Konsistensi dalam
bahasa agama yaitu istiqamah. Tentu dalam menjalani konsistensi perlu komitmen
atau pernyataan yang meneguhkan segenap hati dan jiwa raga. Sehingga melalui
proses menjalani termin tersebut akan menuai kebahagiaan pada dirinya. Biasanya
sandaran pada kata istiqamah yaitu ibadah, menuntut ilmu, dan kebaikan’
istiqamah dalam ibadah, istiqamah dalam menuntut ilmu, dan istiqamah dalam
kebaikan.
Raghib al-Isfahani
di dalam kitab Mufrodat al-Fadz al-Quran menyebutkan bahwa makna istiqamahnya
seseorang yaitu seseorang yang mematuhi dalam mengikuti jalan yang lurus (jalan
yang diridhoi Allah swt). Sebagaimana Allah berfirman di dalam surat
Al-Fushilat ayat 30:
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا
تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰٓئِكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا
بِالْجَـنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
Artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat-malaikat akan turun kepada
mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan kepadamu.”
Ayat di atas menggambarkan bahwa seseorang yang istiqamah dalam taqwa
akan menerima ketetapan dari Allah tanpa rasa gelisah dan mengeluh. Di sisi
lain, para malaikat Allah akan selalu meliputinya (seseorang yang istiqamah),
dimanapun dia berada. Sehingga orang tersebut menjalani keseharian dengan sabar
dan syukur.
Sayyidina Umar bin
Khotob berkata, “Istiqamah itu bahwa melaksanakan perintah Allah
dan meninggalkan larangannya, tidak merasa diuji oleh Allah, dan tidak merasa
diburu oleh serigala.” Definisi yang dilontarkan oleh
Sayyidina Umar memberikan deskripsi bahwa manusia yang istiqamah yaitu
menjalani kehidupan apa adanya, ketika ia dalam kondisi miskin ia menjalani
taqwa, sedangkan dalam kondisi kaya ia tetap menjalani perintah Allah.
Sebagian wali-wali
Allah memaknai istiqamah itu melalui dua jalan, “Sehatnya iman
kepada Allah dan mengikuti apa-apa yang datang kepada rasulullah baik secara
zohir dan bathin.” Pernyataan tersebut memberikan
satu perspektif bahwa jalan istiqamah itu meyakini bahwa Allah adalah
sebaik-baik pertolongan dan agar pertolongan itu datang perlu mengikuti jalan
syariat yang telah disampaikan melalui Nabi Muhammad.
Istiqamah menurut Imam
al-Qusyairi yaitu derajat yang dengannya akan tercapai kesempurnaan perkara dan penyelesaiannya pun juga demikian. Mewujudkan
istiqamah akan menghasilkan kebaikan-kebaikan dan keterbiasaan bersama kebaikan
tersebut. Imam Qusyairi berkata, “Barangsiapa yang tidak istiqamah pada jalannya maka akan sia-sia
usahanya dan akan hilang kesungguhannya.”
Untuk itu meniti jalan
istiqamah perlu adanya guru dalam membimbing agar memperkuat iman dan taqwa.
Berapa banyak keberhasilan seseorang yaitu dengan istiqamah bersama gurunya,
seperti kisah Syekh Jalaludin Rumi yang berguru kepada Syekh Syams al-Tabriz.
Ketika pertemuan pertama Rumi dengan gurunya yang sederhana. Namun dibalik
kesederhanaan al-Tabriz ada segudang ilmu yang tersimpan didirinya. Sehingga
Rumi yang memang sudah a’lim (ahli fiqih dan tafsir) tetap belajar kepada
al-Tabriz.
Bagi seorang salik
(seorang yang menuju jalan Allah) bahwa guru merupakan representasi dari Rasulullah. Tentu guru disini harus mempunyai
sanad ke ilmuan. Sebab guru yang tidak bersanad akan melenceng dari ajaran
Rasulullah. Maka dari itu, seorang salik meyakini bahwa gurunya akan memberikan
kebahagiaan dan futuh terhadap dirinya. Maka ada ungkapan, Kalau bukan karena
guruku maka aku tidak mengenal Tuhan-ku.”
0 Komentar