Istiqamah, Jalan Menuju Kebahagiaan Diri Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

            Konsistensi dalam bahasa agama yaitu istiqamah. Tentu dalam menjalani konsistensi perlu komitmen atau pernyataan yang meneguhkan segenap hati dan jiwa raga. Sehingga melalui proses menjalani termin tersebut akan menuai kebahagiaan pada dirinya. Biasanya sandaran pada kata istiqamah yaitu ibadah, menuntut ilmu, dan kebaikan’ istiqamah dalam ibadah, istiqamah dalam menuntut ilmu, dan istiqamah dalam kebaikan.

            Raghib al-Isfahani di dalam kitab Mufrodat al-Fadz al-Quran menyebutkan bahwa makna istiqamahnya seseorang yaitu seseorang yang mematuhi dalam mengikuti jalan yang lurus (jalan yang diridhoi Allah swt). Sebagaimana Allah berfirman di dalam surat Al-Fushilat ayat 30:

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ  الْمَلٰٓئِكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَـنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ  تُوْعَدُوْنَ

Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”

            Ayat di atas menggambarkan bahwa seseorang yang istiqamah dalam taqwa akan menerima ketetapan dari Allah tanpa rasa gelisah dan mengeluh. Di sisi lain, para malaikat Allah akan selalu meliputinya (seseorang yang istiqamah), dimanapun dia berada. Sehingga orang tersebut menjalani keseharian dengan sabar dan syukur.

            Sayyidina Umar bin Khotob berkata, “Istiqamah itu bahwa melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangannya, tidak merasa diuji oleh Allah, dan tidak merasa diburu oleh serigala.” Definisi yang dilontarkan oleh Sayyidina Umar memberikan deskripsi bahwa manusia yang istiqamah yaitu menjalani kehidupan apa adanya, ketika ia dalam kondisi miskin ia menjalani taqwa, sedangkan dalam kondisi kaya ia tetap menjalani perintah Allah.

            Sebagian wali-wali Allah memaknai istiqamah itu melalui dua jalan, “Sehatnya iman kepada Allah dan mengikuti apa-apa yang datang kepada rasulullah baik secara zohir dan bathin.” Pernyataan tersebut memberikan satu perspektif bahwa jalan istiqamah itu meyakini bahwa Allah adalah sebaik-baik pertolongan dan agar pertolongan itu datang perlu mengikuti jalan syariat yang telah disampaikan melalui Nabi Muhammad.

            Istiqamah menurut Imam al-Qusyairi yaitu derajat yang dengannya akan tercapai kesempurnaan perkara dan penyelesaiannya pun juga demikian. Mewujudkan istiqamah akan menghasilkan kebaikan-kebaikan dan keterbiasaan bersama kebaikan tersebut. Imam Qusyairi berkata, “Barangsiapa yang tidak istiqamah pada jalannya maka akan sia-sia usahanya dan akan hilang kesungguhannya.”

            Untuk itu meniti jalan istiqamah perlu adanya guru dalam membimbing agar memperkuat iman dan taqwa. Berapa banyak keberhasilan seseorang yaitu dengan istiqamah bersama gurunya, seperti kisah Syekh Jalaludin Rumi yang berguru kepada Syekh Syams al-Tabriz. Ketika pertemuan pertama Rumi dengan gurunya yang sederhana. Namun dibalik kesederhanaan al-Tabriz ada segudang ilmu yang tersimpan didirinya. Sehingga Rumi yang memang sudah a’lim (ahli fiqih dan tafsir) tetap belajar kepada al-Tabriz.

            Bagi seorang salik (seorang yang menuju jalan Allah) bahwa guru merupakan representasi dari  Rasulullah. Tentu guru disini harus mempunyai sanad ke ilmuan. Sebab guru yang tidak bersanad akan melenceng dari ajaran Rasulullah. Maka dari itu, seorang salik meyakini bahwa gurunya akan memberikan kebahagiaan dan futuh terhadap dirinya. Maka ada ungkapan, Kalau bukan karena guruku maka aku tidak mengenal Tuhan-ku.”

 

 

           

           

 




Posting Komentar

0 Komentar