Bentuk-bentuk tawasul kadang berbentuk doa dan
permohonan. Maka itu penulis akan memperlihatkan lafaz-lafaz tawasul yang sudah ulama tuturkan
sebagai berikut:
a.
Tawasul
al-Ramli (w. 1004 H)
Nama lengkap beliau adalah
Syamsuddin Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Syihab al-din
al-Ramli. Beliau adalah ulama besar mazhab Syafi’i dan pengarang kitab fiqih
Nihayah al-Muhtaj. Beliau bertawasul di akhir kitabnya (Abbas, 1985: 133):
وَ الله أَسْأَلُ وَ بِرَسُوْلِهِ أَتَوَسَّلُ
أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ كَمَا نَفَعَ بِأَصْلِهِ
“ Demi Allah saya meminta dan dengan
Rasul-Nya aku bertawasul supaya kitab ini bermanfaat sebagaimana manfaat yang
telah dicapai oleh asalnya”
b.
Tawasul
Sayid Syatha (w. 1310 H)
Sayid Bakri Syatha merupakan pengarang kitab
I’anah al-Thalibin. I’anah al-Thalibhin merupakan kitab fikih Syafi’i
yang dipelajari hampir di seluruh pesantren Islam di Indonesia. Pada akhir bab buku tersebut beliau berdoa dan
bertawasul sebagai berikut (Abbas, 1985: 131):
وَ أَتَضَرُعُ
إِلىَ اللهِ سُبْحاَنَهُ وَ تَعاَلىَ وَ أَسْأَلُهُ مِنْ فَضْلِهِ العَمِيْمِ
مُتَوَسِلاً بِنَبِيِّهِ الكَرِيْمِ أَنْ يَنْفَعَ بِهاَ كَماَ نَفَعَ بِأَصْلِهاَ.
“Saya
tunduk merendah diri kepada Allah dan saya memohon karunia-Nya melalui tawasul
dengan Nabi-Nya yang mulia, supaya karangan
ini berfaedah sebagaimana faedah yang telah dicapai oleh asalnya.”
c.
Tawasul
Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1315 H)
Syekh
Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani
adalah seorang ulama besar bangsa Indonesia yang bermukim di Mekkah pada
sekitar tahun 1297 H. Beliau seorang yang mengarang kitab-kitab dalam bahasa
Arab. Kitab kitab tersebut antara lain Tijanu al-Darari, Nihayatu al-Zein,
Syarah al-Jurumiyah, Fath al-Majid,
Lubab al-Bayan dan masih banyak lagi. Tawasul beliau tertera di dalam kitab
Tijanu al-Dari (Abbas, 1985: 135).
وَ
اللهَ أَسْأَلُ وَ بِنَبِيِّهِ أَتَوَسَّلُ أَنْ يَجْعَلَ هَذِهِ الكِتاَبَةَ
خاَلِصَةً لِوَجْهِهِ الكَرِيْمِ
“Demi
Allah saya bermohon dan dengan Nabi-Nya saya bertawasul, supaya dijadikan-Nya
kitab ini ikhlas bagi wajah-Nya yang Maha Mulia”.
Ketiga
tawasul yang dituturkan oleh ulama-ulama tersebut diawali dengan sikap berharap
penuh dengan Allah. Harapan tersebut diiringi
dengan pujian-pujian dan sikap pasrah kepada-Nya.
Setelah itu mereka meminta dengan wasilah (media) rasulullah sebagai kekasih
Allah agar melengkapi tawasul tersebut. Sebagaimana keabsahan menyebut nama
rasulullah ketika attahiyat pada shalat.
Ja’far Subhani membagi tawasul menjadi
dua bentuk (Ja’far Subhani, 1989: 73):
1)
Tawasul
dengan zat mereka, seperti dapat kita katakan, “Oh Tuhan, aku berperantara
kepada-Mu, dengan nabi-Mu Muhammad, agar Engkau mengabulkan permintaanku.
2)
Tawasul
dengan maqam (kedudukan) dan qurbah (dekatnya) mereka di sisi Allah serta hak
mereka, seperti dapat kita katakan, “Oh Tuhan, Aku berperantara kepada-Mu
dengan maqam, kedudukan nabi Muhammad, kehormatanya, dan haknya agar Engkau
mengabulkan permintaanku.”
Adapun Tawasul Abdurrahman Al-Saqaf (w.2007 M) bukan hanya
ditujukan kepada nabi Muhammad saja akan tetapi kepada malaikat-malaikat,
wali-wali Allah dan al-Quran. Adapun tawasulnya sebagai berikut:
إِلهِيْ
بِجاَهِ الأَنْبِياَءْ وَ المَلاَئِكَة
- وَ بِأَوْلِياَءِ جُدْلَناَ
بِالإِجاَبَةِ
إِلهِيْ
تَوَسَّلْناَ بِقُرْآنِكَ الكَرِيْمِ - تُنَوِّرْ
بَصِيْرَتِيْ وَ سَمْعِيْ وَ مُقْلَتِيْ
Ya
Tuhanku dengan kebesaran para Nabi dan Malaikat
Dan
dengan berkah karomah para wali, terimalah permohonan kami
Ya
Tuhanku aku memohon dengan perantara berkahnya al-Quranmu yang mulia
Terangilah
hatiku dan pendengaraku serta mataku (Al-Saqaf, 1980: 2)
0 Komentar