Relasi Al-Quran dan Politik oleh Hanifah Dianti (Mahasiswi Fisip UI 2020)

 

Manusia sebagai bagian dari masyarakat menciptakan berbagai fenomena sosial yang merangkai hubungan dan interaksi dengan manusia lainnya. Hal tersebut yang menjadikan manusia tak bisa lepas dari gejala-gejala sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial. Berbicara mengenai pola kehidupan sosial masyarakat, politik merupakan salah satu bagian muamalah yang rangka dasarnya telah diatur dalam Al Quran. Sederhananya, Al Quran tak pernah mendefiniskan secara ajek bentuk atau sistem pemerintahan apa yang ideal atau tepat, melainkan ibarat dalam suatu proses pembangunan, Al Quran menjadi kerangka dari prosesnya, memberikan rambu-rambu mengenai prinsip dasar dan kedudukan yang harus diketahui bagi para pembacanya.

Dalam merangkai kerangka tersebut, politik dalam hubungannya dengan Al Quran dikategorikan sebagai bagian dari muamalah hukum publik atau dikenal sebagai siyasah atau al-ahkam al-sulthaniyah (politik dan ketatanegaraan). Perlu diketahui bahwasanya berbagai aturan norma yang menjamin keharmonisan, keadilan dan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi ini telah ditetapkan dan dihimpun oleh Allah SWT dalam ajaran muamalah. Oleh karena itu, menjadi penting bagi muslim untuk melihat secara dalam implementasi muamalah dalam politik yang telah diatur dalam Al Quran sebagai fondasi mereka untuk memproyeksikan politik islam sesuai den (Zaprulkhan, 2014)gan kedudukan dan prinsip dasarnya dalam Al Quran.

            Melalui elaborasi makna politik dalam bahasa Arab dan kamus literatur, Politik Islam adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat berdasarkan ajaran Islam dan semua urusan seluruh umat. Pengaturan masyarakat tidak hanya khusus untuk umat saja, akan tetapi semua yang berada dibawah kekuasaan wilayah Islam. Namun, pada dasarnya, terdapat tiga pendapat di kalangan pemikir muslim tetntang kedudukan politik dalam Islam (Mujilan, 2019), antara lain:

 

(1)    Kelompok yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap didalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Kemudian lahir sebuah istilah yang disebut degan fikih siyasah (sistem kenegaraan dalam Islam) merupakan bagian integral dari ajaan islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem ketatanegaraan  yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw dan oleh para Khulafa al-rasyidin yaitu sistem khilafah.

(2)    Kelompok yang berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat. Artinya agama tidak ada hubungannya dengan kenegaraan. Menurut aliran ini nabi Muhammad hanyalah seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain bertugas menyampaikan risalah Tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak bertugas untuk mendirikan dan memimpin suatu Negara.

 

(3)    Menolak bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang terdapat di dalamnya segala sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa Islam sebagaimana pendapat barat yang hanya mengatur hubungn manusia dengan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai bagi kehidupan bernegara.”

 

Melihat adanya perbedaan pandangan kedudukan politik dalam Islam tersebut, satu hal yang harus dipahami adalah bahwasanya Islam tidak hanya mengatur ibadah secara perseorangan, tetapi juga mengatur urusan kolektif seperti bermasyarakat dan bernegara. Konteks untuk dapat menciptakan masyarakat yang dekat dengan prinsip-prinsip ethic dan moral yang terkandung dalam Al Quran menjadi urgensi kaum muslimin untuk peduli dan memikirkan urusan ummat. Prinsip-prinsip politik islam yang terkandung dalam Al Quran dikutip dari buku karangan Muhammad S. El. Wa. On The Political System of Islamic State  memuat sebagai berikut:

 

(a).  Prinsip Musyawarah

Musyawarah merupakan prinsip pertama dalam tata aturan politik Islam yang amat penting, artinya penentuan kebijaksanaan pemerintah dalam sistem pemerintahan  Islam haruslah berdasarkan atas kesepakatan musyawarah. Prinsip ini sesuai dengan ketentuan QS.3 (Ali Imran) : 159. Rasulullah saw sendiri sering bermusyawarah dengan para sahabatnya  dalam segala urusan. Setiap pemimpin pemerintahan (penguasa, pejabat, atau imam) harus selalu bermusyawarah dengan rakyat atau umatnya.. Dengan musyawarah itu pula semua pihak ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan.

 

(b). Prinsip Keadilan

       Kata ini sering digunakan dalam Al-Qur’an dan telah dimanfaatkan secara terus menerus untuk membangun teori kenegaraan Islam, seperti disebutkan dalam firman Allah QS.16 (Al-Nahl) : 90. Dijadikan keadilan sebagai prinsip politik Islam, mengandung suatu konsekuensi bahwa para penguasa atau penyelenggara pemerintahan harus melaksanakan tugasnya dengan baik dan juga berlaku adil terhadap suatu perkara yang dihadapi. Penguasa haruslah adil dan mempertimbangkan hak-hak warganya dan juga mempertimbangkan kebebasan berbuat bagi warganya berdasarkan kewajiban yang telah mereka laksanakan.

 

(c) Prinsip Kebebasan

       Kebebasan di sini mengandung makna positif, yaitu kebebasan bagi warga negara untuk memilih sesuatu yang lebih baik, maksudnya kebebasan berfikir untuk menentukam mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga proses berfikir ini dapat melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan hasil pemikirannya.

 

(d).  Prinsip Persamaan

       Prinsip ini berarti bahwa setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak yang sama, juga mempunyai persamaan mendapat kebebasan, tanggung jawab, tugas-tugas kemasyarakatan tanpa diskriminasi rasial, asal-usul, bahasa dan keyakinan.

 

(e)Prinsip Pertanggungjawaban dari Pemimpin Pemerintah tentang Kebijakan yang diambilnya. Jika seorang pemimpin pemerintahan melakukan hal yang cenderung merusak atau menuruti kehendak sendiri maka umat berhak memperingatkannya agar tidak meneruskan perbuatannya itu, sebab pemimpin tersebut berarti telah meninggalkan kewajibannya untuk memenuhi hak rakyatnya.(Mujilan, 2019).

 

Setelah kita telah mengenali kerangka yang dihadirkan Al Quran dalam politik islam, kita dapat melakukan implementasi atas prinsip dan kedudukan tersebut dengan berefleksi pada pada risalah Nabi Muhammad. Langkah-langkah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, juga beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah masyarakat yang disebut sebagai negara. Pada awal pemerintahan Islam di Madinah, Nabi Muhammad sudah dikatakan sebagai kepala negara karena Islam telah mempunyai wilayah kekuasaan, masyarakatnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar, undang-undang peraturannya berupa piagam madinah dan masyarakat di luar muslim pun tetap dilindungi berdasarkan peraturan. Penyelenggaraan pemerintahan dalam ajaran Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ini didasarkan pada prinsip-prinsip politik dan perundang-undangan pada kitab Al-Qur’an dan Sunnah. Bukti sejarah juga mencatat beberapa bentuk kegiatan politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad seperti, Perjanjian Aqabah dan Piagam Madinah serta jejak peran dalam kegiatan luar negeri dan dalam negerinya.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa relasi Al Quran dan politik adalah sebagai kerangka etika dan moral manusia untuk menjalankan kegiatan politiknya tersebut. Bukan politik sebagai tujuan, melainkan politik sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih tinggi (Republika, 2017). Bagaimana prinsip tersebut mempengaruhi kegiatan politik kita dan bagaimana kita memandang kedudukan politik dalam Islam menjadi manfaat kita dalam mempelajari politik dalam Al Quran. Walaupun demikian, untuk dapat melakukan implementasinya dengan nyata, perlu digarisbawahi pentingnya memahami risalah pemerintahan Nabi Muhammad untuk melengkapi pengertian sistem pemerintahan yang masih kabur dalam Al Quran.  Pada prinsipnya, konsep  dan  kegiatan  politik   sistem  pemerintahan  dalam   Islam bertumpu  pada  keadilan.  Keadilan  dalam hukum merupakan sebuah mahkota. Kemudian, menjadi   sebuah   keniscayaan   untuk   senantiasa   ditegakkan   oleh   pemerintah. Pemerintahan  harus  dibangun  berdasarkan  asas-asas  normatif  untuk  mengatur negara  yang  berlandasan  pada  asas  amanat,  asas  keadilan,  asas ketaatan  dan  sunnah (Pulungan, 2018).  

Sehingga di dalam sebuah sistem pemerintah dan ketatanegaraan, terdapat sistem check and balances di mana mereka yang berhak dapat mengoreksi dan berpartisipasi dalam jalannya suatu kegiatan politik suatu negara. Dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di Tanah Air (Mahfudh, 2014).

Sumber Foto : moeslimchoice.com




Posting Komentar

0 Komentar