Menelisik Perbandingan Urban Sufisme dan Tasawuf Modern oleh Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)


            Urban Sufisme terdiri dari dua kata yaitu urban dan sufisme. Urban secara etimologi city or


town, yang berarti kota.[1] Adapun pengertian urban secara terminologi tempat pemukiman yang relatif besar, berpenduduk padat, dan permanen terdiri dari individu-individu yang secara sosial heterogen.[2] Pengertian tersebut akan muncul perspektif adanya permasalahan dan problematika di kota. Sehingga ada prilaku, sikap, dan tingkah laku yang menyimpang dan negatif.

Ibnu Khaldun menuturkan bahwa penduduk kota identik dengan kejahatan dan sifat buruk akibat pergaulan sosial.[3] Pernyataan tersebut berimplikasi pada penduduk kota dengan pengangguran, kemiskinan, kenakalan remaja, hedonisme, seks bebas dan lain-lain. Sehingga membutuhkan solusi untuk mengatasi hal tersebut.

Gerakan spiritual baru salah satu alternatif untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di kota. Namun Gerakan tersebut tidak jauh untuk menyadarkan semua lapisan masyarakat kota dengan wacana untuk menjawab pertanyaan, “Apa Tuhan itu Ada” (is there a God ?) dan “Siapakah Aku” (Who am I ?).[4] Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya dijawab oleh penggiat tasawuf.

Sufisme dalam termin Islam yaitu tasawuf. Tasawuf secara etimologi berasal dari kata shafa yang artinya suci dan bersih.[5] Tasawuf secara terminologi ialah masuk kedalam setiap akhlak mulia dan keluar dari setiap akhlak tercela.[6]

Tasawuf melalui definisi etimologi dan terminologi diatas maka memunculkan satu perspektif bahwa tasawuf berkaitan dengan kesucian  dan kebersihan jiwa dari akhlak mazmumah. Hal itu bisa dicapai dengan melakukan mujahadah dan riyadhah. Sebab dua termin tersebut bisa mengontrol diri manusia dari sifat-sifat dan sikap-sikap yang buruk.

Lain halnya dengan pandangan saintis barat, McIntosh, seorang linguis berkebangsaan Amerika, beranggapan bahwa sufisme merupakan termin dalam agama Islam bisa dalam bentuk ordo keislaman yang membawa seseorang menuju Tuhan dengan cara hidup sederhana, berzikir, dan bermeditasi.[7] Sedangkan Evelyn Underhill mengindentikkan tasawuf dengan mistisisme yang berarti arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama. Dalam artian yang paling luas, mistik yang bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal (Tuhan) yang mungkin bisa disebut dengan kearifan, cahaya, cinta, atau nihil.[8]

Kedua pandangan saintis barat antara satu dengan lainnya berbeda. Tentunya, tasawuf itu merupakan ajaran dalam Islam. Termin itu representasi dari sifat ihsan, yaitu merasa diawasi Allah. Sehingga hal tersebut, manusia terus berkata, berbuat, dan bertindak sesuai dengan proporsinya.

Pada tahun 1960-an, Buya Hamka mensosialisasikan tasawuf modern. Ia mendorong muslim modern untuk menghargai bahwa esensi tasawuf (baginya adalah pengembangan etika pribadi dan refleksi filosofis) adalah positif dan dapat dipelajari oleh pembaca umum tanpa memerlukan latihan untuk waktu yang lama dalam sebuah tarekat. Hal ini, ujarnya akan memungkinkan kaum urban yang sibuk, yang sepenuhnya terlibat dengan pekerjaan dan keluarga, untuk mengembangkan kepekaaan etis dan menikmati ibadah yang memperkaya rohani, dan akan menghidupkan pola ritual dan ketaatan kaum modernis yang masih minim tentang hukum agama.[9]

Termin tasawuf modern Hamka diperuntukan bagi kaum perkotaan yang sibuk dengan urusan-urusan duniawiyah sehingga minimnya waktu untuk mendalami agama. Sehingga termin tersebut lewat media baca saja  diharapkan sebagai sarana untuk memotivasi untuk melakukan apa-apa yang diperintah oleh Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Sementara itu, Fazrul Rahman mendisain tasawuf modern dengan model yang berbeda. Ia menyatakan bahwa sufisme modernis tersebut mengindikasikan adanya praktik sufi yang disinergiskan dengan syariah dan fiqih disesuaikan dengan kehidupan modern. Selain itu pula, sufisme modern juga menolak adanya sikap zuhud dan taklid seperti yang diajarkan dalam sufisme tradisional dengan mengkultuskan seorang mursyid. Rahman kemudian menjelaskan bahwa sufisme modern ini muncul karena terinsipirasi oleh pemikiran Ibnu Taimiyyah.[10]

Pernyataan Fazrul Rahman memunculkan polemik. Sebab termin tasawuf modernnya terinspirasi tokoh yang cenderung mengkritik sufisme, yaitu Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah sebagai tokoh anti-tasawuf dikarenakan beberapa hal, pertama, disebabkan karya-karyanya mengilhami atau menginspirasi golongan atau aliran yang anti tasawuf. Golongan anti-tasawuf mengatakan tarekat itu bid'ah, karena pertama, intitusi tarekat; kedua, sumber pengetahuan yang didapat dari ilham; ketiga, dualisme zahir-batin dalam doktrin sufi.[11] Oleh karenanya tasawuf modern gagasan Fazrul Rahman belum merepresentasikan perkembangan dan pengembangan tasawuf.

Pada tahun 2000-an, tasawuf modern bertransformasi menjadi urban sufisme. Termin tersebut diinisiasi oleh Julia D Howell. Ia menyatakan lahirnya gerakan sufisme gaya baru yang dialami oleh masyarakat menengah ke atas perkotaan.[12] Hal itu disebabkan,  masyarakat menengah ke atas perkotaan mengalami keterpurukan dalam rivalitas dalam dunia modern. Sehingga banyak dari mereka jenuh dengan kondisi modernisme.  

Selain itu Howell juga menggunakan termin uban sufisme dalam pengertian yang longgar. sehingga mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang muncul di tengah masyarakat perkotaan. Gerakan spiritual tersebut meliputi majelis zikir dan doa tanpa ada lembaga kesufian, tarekat. Hal itu disebabkan banyak pada muslim modernis dan skripturalis “masih alergi (seperti umum diketahui) terhadap tarekat.[13]

Pernyataan di atas memunculkan wacana bahwa tasawuf tanpa tarekat itu bisa dijalani. Sebagaimana sufi-sufi klasik, Abu Nashr al-Sarraj, al-Qushayrî Abû Hâmid al-Ghazâlî, seperti menjalani perjalanan spiritualnya. Dengan demikian, ekspresi gairah spiritual dalam urban sufisme hanya dalam bentuk zikir, amalan, serta doa wirid yang diadopsi dari para guru sufi.

Wasisto Jati menyebutkan bahwa pemaknaan urban sufisme hanya berkutat pada bentuk pencarian solusi masalah kehidupan, terlebih lagi dengan adanya gesekan iklim perkotaan yang sifatnya individualis dan hedonis mengakibatkan ketidakjelasan pemaknaan ritual keagamaan yang dialamai oleh masyarakat neo-modernisme tersebut.[14]

Pemaparan urban sufisme di atas bertalian dengan titik jenuh masyarakat kota terhadap realitas kepentingan duniawi. Sehingga ia butuh pada gairah spiritualitas melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang bisa menghilangkan depresi, stress, tekanan mental, dan kegelisahan. Akan tetapi ritual keagamaan terkadang yang diikuti mereka terjebak pada penafsiran yang salah.

Landasan pemahaman sufi yaitu dari al-Quran, sunnah, dan amalan serta ucapan para sahabat. Amalan dan ucapan para sahabat itu tentu tidak menyimpang dari ruang lingkup al-Quran dan Sunnah. Karena itu dua sumber utama tasawuf ialah al-Quran dan Sunnah.[15]

Termin tasawuf memang tidak tersurat termuat dalam al-Quran. Akan tetapi ada term-term yang berhubungan dengannya bisa ditelisik dan dikaji melalui al-Quran. Seperti termin taubat dan tazkiah al-nafs, alam QS Al-Tahrim [66]: 8 dan Al-Syams [91]: 9:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ….

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. QS Al-Tahrim [66]: 8

 

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا.

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Al-Syams [91]: 9

 

            Taubah mewakili termin tasawuf, disebabkan ia merupakan langkah awal menuju Allah. Syekh Abdul Qadir al-Jilani mengatakan bahwa taubat terbagi dua bagian yaitu zahir dan bathin. Langkah zahir dalam bertaubat dilakukan melalui perkataan, perbuatan, dan perasaan yaitu dengan cara membersihkan diri dari dosa dan noda, lebih banyak menaati perintah Allah, berbuat dan berniat sesuai dengan ketentuan Allah. Sedangkan langkah bathin yaitu si salik (seorang yang menempuh perjalanan ilahi) terus mengarungi sampai ke tempat tajjali.[16]

            Adapun tazkiah al-Nafs merupakan praktik dari kesufian sendiri. Praktik tersebut telah disebutkan oleh Abu Hasan Nuri yaitu membebaskan ruh-ruhnya dari pencemaran manusiawi, terlepas dari noda jasmani, dan terbebas dari hawa nafsu. Sehingga para sufi menemukan ketenangan bersama Tuhan.[17]

            Urban Sufisme itu sendiri juga tidak termaktub di dalam al-Quran. Akan tetapi termin tersebut harus ditelisik terlebih dahulu dari permasalahan dan problematika di kota.  QS An-Naml[27]:48, salah satu ayat yang menggambarkan tentang permasalahan tersebut.

 

 

وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ

 

Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan. QS An-Naml[27]:48

           

Adapun penjelasan  ayat tersebut termaktub dalam kitab Tafsir Ibn Katsir,  As-Saddi telah meriwayatkan dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas, ada Sembilan orang pemuda bernama  Da'ma, Da'im, Harma, Harim, Da-ab, Sawab, Riyab, Mista', dan Qaddar ibnu Salif di kota Kaum Tsamud melakukan kesesatan dan pengingkaran terhadap Nabi Saleh As. Bahkan mereka merencanakan membunuh Nabi Saleh AS. Namun mereka hanya menyembelih unta Nabi Saleh dengan tangan mereka sendiri.[18]

Melalui tafsir di atas bisa diambil kesimpulan bahwa aksi kriminologi di kota pada umumnya dilakukan oleh pemuda-pemuda. Namun tidak selamanya orang-orang yang melakukan kriminologi di sepanjang hidupnya. Namun mereka akan menyesal dengan perbuatannya kemudian memiliki kesadaran spiritual untuk meluruskan kehidupannya kembali.



[1] Colin MCiNtosh, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, Cambridge: Cambrildge University Press, 2013, h. 1729

[2] Sumardjito, “Permasalahan Perkotaan dan Kecendrungan Prilaku Individualis Penduduknya”, Cakrawala Pendidikan, Juni 1999, Thn XVIII, No.3, h. 132

[3] Abdurrahman bin Khalldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Darul Fikr, 1992, h.123

[4] Eileen Barker. The New Religious Movement: Their incident and significance dalam New Religious Movements: Challenge and Response (London: 1999), h. 16.

[5] As’ad As-Samahrani, al-Tashawwuf Mansya’uh wa Mushthalahatuh, Beirut: Dar An-Nafa’is, 1987, h. 15

[6] Imam Qusyairi, al-Risalatu al-Qusyairiyah fi I’lmi al-Tasawuf, Indonesia: Darul al-Kutub al-Islami,2011, h.330

[7] Colin MCiNtosh, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, Cambridge: Cambridge University Press, 2013, h. 1527

[8] Evelyn Underhill, Mystiscism: A Study in The Nature and Development of Man’s Spiritual Conciousness, New York: Paperback, 1956, h.11

[9] Buya Hamka, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990, h.3

[10] Julia Day Howell, “Introduction: Sufism and Neo-Sufism in Indonesia today”, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Volume. 46, No. 2, (2012), hal. 1-24.

[11] Abdul Mun’im Kholil, ‘Jejak Metodologis Anti-Sufi: Analisis KritisPemikiran Sufisme Ibn Taymiyah Dalam Jurnal’, Reflektika, Vol. 13.No. 1., h. 34

[12] Julia Day Howell, “Revival Ritual and the Mobilization of Late-modern Islamic Selves”. (University Western of Sydney: Journal of Relegion and Political Pratice. 2015). Hlm. 47

estern of Sydney: Journal of Relegion and Political Pratice. 2015). Hlm. 47

[13] Julia D Howell, “Modernitas dan Spiritualitas Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Jakarta:edisi no. 32, 2013

[14] Wasisto Jati, Sufisme Urban di Perkotaan : Kentruksi Keimanan Baru Kelas Menengah Muslim. (LIPI : Jurnal Kajian dan Pengembangan Dakwah. 2015). Hlm. 175

[15] Abu Nashr al-Sarraj, al-Luma fi Tarikh al-Tasawuf al-Islami, Egypt: al-Tawfikia, 2002, h. 9

[16] Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar wa Muzhiru al-Anwar, Cairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Dinniyah, 2013, h. 88

[17] Ali Usman al-Hujwiri. The Kasyf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise On Sufism, New Delhi: Taj Company, 1982, h.47

[18] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir Jilid IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Islami,2017, h.330




Posting Komentar

0 Komentar