Muamalah al-Nafs dalam Pandangan Imam Abdullah al-Haddad Oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ

 

 

     Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad adalah tokoh sufi dari kalangan baalawi yang dikenal produktif dalam memberikan pemikiran sufisme secara praktis. Sehingga kata-katanya mudah dipahami dan diimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Beliau pernah mengungkapkan tentang muamalah hawa nafsu.

            Muamalah secara etimologi yaitu tindakan atau perbuatan.[1] Sedangkan Nafs menurut Imam Ghazali yaitu potensi marah atau syahwat pada manusia(Imam Ghazali:2006:1345).[2] Jika dua termin tersebut dijadikan satu termin maka bisa dimaknai yaitu tindakan hawanafsu bersumber dari syahwat manusia itu sendiri.

            Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata, “Sesungguhnya hawa nafsu itu seperti malasnya berbuat yang baik, lalu hendaknya manusia bisa menundukkannya dengan berbuat baik dan berbuat yang bermanfaat baginya. Ketahuilah oleh kamu bahwa hawa nafsu selalu ditarik oleh keburukan sehingga hawa nafsu dipenuhi atasnya. Solusinya, berbuat baik yang menyulitkan keburukan untuk masuk kepada hawa nafsu tersebut karena bahwasannya berbuat baik berlawanan atas kebiasaanya. Sehingga hawa nafsu membeci keburukan dan tidak akan menjiwainya.” (Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad:1999:269)

            Pernah beberapa penguasa daerah datang ke Tarim untuk berziarah ke Imam Haddad dalam jangka waktu yang tidak lama sebanyak dua kali. Kala itu Imam Haddad memberikan nasihat untuk mereka, “ Tidaklah kamu membiasakan datang ke wilayah ini untuk mendekatkan diri kepada Allah, apakah kamu telah menyentuh dirimu dengan keinginan untuk berbuat baik. Lalu apabila kamu telah melihat nafsu mu atau selain kamu hanya bertambah baik dari segi zahirnya saja akan tetapi engkau melakukan kebaikan tersebut belum menunjukkan tanda bertambah baiknya secara bathin.” (Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad:1999:269)

              Perkataan Imam Haddad tersebut mengandung isyarat bahwa perbuatan baik akan mengendalikan nafsu manusia. Namun perlu diingat bahwa dalam perbuatan baik tidak hanya dilakukan secara zahir atau terlihat saja akan tetapi perbuatan baik harus dilakukan secara bathin juga atau secara sembunyi. Sebab perbuatan baik yang hanya ingin dilihat orang lain akan terjatuh pada sifat riya. Jika demikian riya adalah sifat yang datang dari hawa nafsu. Wawlahu a’lam bissawab.




Posting Komentar

0 Komentar