Riview Buku "Islamofobia"

Judul: Islamofobia

Penulis: Karen Armstrong, dkk

Penerbit: Mizan Media Utama(MMU)

Tahun Terbit: 2018

Halaman: 352 halaman

Ketebalan: -



Apakah Islamofobia Itu?

        Kita kerap menggunakan istilah-istilah tanpa menyimak etimologi (asal-usul)-nya. Ketika kami mendiskusikan Islamofobia(“Islamofobia” adalah pengindonesiaan dari istilah bahasa Inggris“Islamo phobia”, yang merupakan gabungan dari kata “Islam” dan “phobia” (ketakutan). Jadi, Islamofobia singkatnya adalah “ketakutan terhadap Islam”).

        Pusat Kajian Ras dan Gender Universitas California-Berkeley menawarkan definisi Islamofobia sebagai berikut. Istilah “Islamofobia” pertama kali diperkenalkan sebagai suatu konsep dalam sebuah laporan “Runnymede Trust Report” tahun 1991 dan didefinisikan sebagai “permusuhan tidak berdasar terhadap umat Islam, dan, dengan demikian, ketakutan atau kebencian terhadap semua atau sebagian besar umat Islam”. Istilah ini diciptakan dalam konteks umat Muslim Inggris khususnya dan Eropa umumnya, dan dirumuskan berdasarkan kerangka “xenofobia” (ketakutan dan kebencian terhadap orang asing) yang lebih luas.

Laporan tersebut menunjuk pada sejumlah sikap yang lahir dari serangkaian pandangan berikut:

1.  Islam adalah agama yang monolitik (tunggal-kaku tanpa variasi) dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan realitas-realitas baru.

2.     Islam tidak memiliki nilai-nilai yang sama dengan yang diajarkan agama-agama besar lainnya.

3.     Islam adalah agama inferior dalam pandangan Barat. Ia adalah agama yang kuno, biadab, dan tidak rasional.

4.     Islam merupakan agama kekerasan dan mendukung terorisme.

5.     Islam adalah ideologi politik yang buas.

    Islamofobia adalah suatu ketakutan atau prasangka yang direkayasa dan dipicu oleh struktur kekuasaan global saat ini yang bersifat Eropa-sentris dan Orientalis. Ketakutan atau prasangka ini diarahkan pada isu ancaman orang-orang Islam”—baik yang hanya berupa kesan maupun yang benar-benar nyata—dengan mempertahankan dan memperluas berbagai kesenjangan yang ada di dalam hubungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya, sembari melakukan rasionali sasi bahwa kekerasan perlu digunakan sebagai cara untuk melakukan “pembenahan peradaban” pada komunitas-komunitas yang disasar (umat Muslim atau yang lainnya). 

        Islamofobia memperkenalkan kembali serta menegaskan kembali suatu struktur rasial global yang dengannya ke senjangan distribusi sumber daya dipertahankan dan diper luas. Sebenarnya, Islamofobia dunia barat berasal dari zaman Perang Salib, dan terjalin dengan anti-semitisme kronis. Beberapa Tentara Salib pertama memulai perjalanan mereka ke Tanah Suci dengan membantai komunitas Yahudi di sepanjang lembah Rhine; Tentara Salib mengakhiri kampanye mereka pada 1099 dengan membantai sekitar 30.000 Muslim dan Yahudi di Yerusalem. Meski tahu itu, orang barat selalu sulit untuk memaafkan orang padahal tahu merekalah yang telah berbuat salah. Sejak saat itu orang-orang Yahudi dan Muslim menjadi bayangan diri dari ‘Christendom’ (dunia Kristen), bayangan cermin dari segala sesuatu yang diharap tidak ada - atau takut akan adanya kristen. Fantasi menakutkan yang diciptakan oleh orang Eropa saat ini bertahan selama berabad-abad dan mengungkapkan kegelisahan yang terkubur tentang identitas dan perilaku Kristen. Ketika para paus menyerukan Perang Salib ke Tanah Suci, orang-orang Kristen sering menganiaya komunitas-komunitas Yahudi setempat,. Mereka meninggalkan orang-orang yang telah - tanpa disangka-sangka oleh Tentara Salib – sebagai keturunan dari orang yang benar-benar membunuh Yesus. Orang-orang Yahudi diyakini membunuh anak-anak kecil dan mencampurkan darah mereka dengan roti ragi Paskah: "pencemaran darah". Situasi ini secara teratur menginspirasi peristiwa ‘pogrom’  di Eropa (pembantaian terorganisir dari kelompok etnis tertentu, khususnya orang Yahudi di Rusia atau Eropa Timur,red), dan citra orang Yahudi ketika pembantaian anak dibentangkan dengan teror Oedipal yang hampir seperti iman orang tua. Yesus memang telah mengatakan kepada para pengikutnya untuk mengasihi musuh-musuh mereka, bukan untuk memusnahkan mereka. Namun, ketika orang-orang Kristen di Eropa berperang dengan brutal melawan Muslim di Timur Tengah, itulah sosok Islam pertama kali dikenal di barat sebagai agama pedang. Pada saat ini, ketika para paus mencoba memaksakan kehidupan 'selibat'-nya kepada ulama yang selama ini memang menentangnya, Rasulullah SAW malah digambarkan oleh para ‘biksu ulama Eropa’ sebagai seorang  ‘lecher‘ (pejantan penyuka perempuan), padahal ajaran Islam pun mengutuknya. 

        Orang barat punya sikap kecemburuan yang disembunyikan dengan mengangapnya insting seksual itu malah sebagai sebuah dasar keyakinan yang mendorong umat Islam untuk memanjakan dasar habitnya. Padahal saat itu mereka lupa, kala itu tatanan sosial Eropa sangat hierarkis, terlepas dari pesan egaliter Injil. Islam malah mereka kutuk karena terlalu ‘tidak menghormati’ wanita dan sebutan kasar lainnya. Dalam keadaan penolakan yang tidak sehat itulah, orang-orang Kristen Eropa kala itu memproyeksikan kegelisahan ‘bawah tanah’-nya tentang kegiatan mereka kepada para korban Perang Salib,. Mereka menciptakan musuh-musuh yang fantastis dalam citra dan rupa yang mereka buat sendiri. Kebiasaan ini telah dan terus bertahan. Dengan keteraturan yang mengganggu, keyakinan abad pertengahan ini terus muncul setiap kali ada masalah di Timur Tengah. 

        Namun hingga abad ke-20, Islam adalah agama yang jauh lebih toleran dan damai daripada agama Kristen. Al-Qur'an dengan tegas melarang segala paksaan dalam agama dan menganggap semua agama yang dipandu dengan benar berasal dari Tuhan; dan meskipun kepercayaan Barat sebaliknya, umat Islam tidak memaksakan iman mereka dengan pedang. Penaklukan awal di Persia dan Bizantium setelah kematian Nabi diilhami oleh aspirasi politik dan bukan agama. 

      Ekstremisme dan intoleransi yang muncul di dunia Muslim pada zaman kita sekarang adalah respons terhadap masalah-masalah politik yang tak terselesaikan - minyak, Palestina, pendudukan tanah Muslim, kemunculan rezim otoriter di Timur Tengah, dan "standar ganda" yang dirasakan Barat. "- dan bukan untuk perintah agama yang sudah mendarah daging. Tetapi mitos lama tentang Islam sebagai sebuah agama yang sangat kejam terus berlanjut, dan muncul pada saat-saat yang paling tidak pantas.

Buku ini mencoba menelusuri akar kemunculan ketakutan terhadap Islam di Dunia Barat. Menampilkan analisis dan opini dari penulis. Pembaca diajak untuk mendapatkan perspektif yang luas dan merenungkan tindakan yang dapat diambil untuk meredakannya. Dalam buku ini, kita akan menemukan berbagai sumber informasi—ada yang menawarkan kesempatan untuk merenung, ada pula yang lebih bersifat preskriptif: berisi saran, tips, dan langkah praktis.

Gambar diambil dari: mizanstore.com




Posting Komentar

0 Komentar