Sang Presiden Subuh, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf Wafat Oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

Jumat sore, 15 Januari 2021, tepatnya pukul 16:00 WIB, kabar duka menyelimuti tanah Betawi. Hal itu disebabkan oleh wafatnya seorang ulama Betawi yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pada usia 75 tahun. Orang-orang Betawi menyematkan panggilan untuknya yaitu Sayyidil Walid yang secara etimologi tuannya bapak. Kenapa demikian? Karena sifat kebapakannya yang menonjol darinya; mengayomi, mencerahkan, menasehati, dan memotivasi baik dalam berdakwah ataupun bertemu dengan orang lain.

        
    Sayyid Ali lahir pada 22 April 1945. Ia merupakan putra ke-2 dari pasangan Wali Quthb Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan HJ. Barkah binti Ahmad Fusani. Sedari kecil ia telah diperkenalkan oleh ayahnya  kepada ulama-ulama solih. Pada tahun 50-an, ia di bawa oleh ayahandanya ke Majelis Kwitang dengan menggunakan sepeda ontel. Ia dipakaikan oleh ayahandanya pakaian yang sang rapi. Baju koko putih, jas, dan dilengkapi dengan kopiah putih.  Saat ia dan ayahnya sampai di Kwitang, ayahnya memintanya untuk cium tangan Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi. Kala itu ia disuruh cium bolak balik tangan sang Habib oleh Ayahnya. Kemudian Habib Ali mendoakannya dengan doa yang panjang. Sohibul Kwitang itu berkata pada sang Ayah, " Ya ( Habib ) Abdurrahman, walad engkau sama namanya dengan saya punya nama, semoga apa yang Allah berikan pada saya, sama juga Allah berikan kepadanya. " Sejak itulah ayahnya memberikan tarbiyah kepada Sayyid Ali dengan tarbiyah nabawiah, pendidikan cara-cara nabi Muhammad.

Kegigihan Sayyidil Walid dalam belajar terlihat dari mudanya hingga akhir hayatnya. Keluasan ilmunya terbukti karena pengalaman bergurunya kepada para habaib dan mualim di dalam dan luar negeri. Guru-gurunya antara lain, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf  (ayahandanya),  Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (sohibul Kwitang), Habib Ali bin Husein Alatas (sohibul Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Singa Podium), Habib Soleh bin Muksin Al-Hamid (sohibul Tanggul), Habib Abdullah Syami Alatas, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad (Condet),  Prof. Dr. KH Raden Abdullah bin Nuh (Bogor), dan Mualim Ahmad Junaidi (Menteng Atas). Selain itu ia pernah mukim selama empat puluh hari di Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki (Mekkah).

Sekitar tahun 1960-an, Sayyid Ali Assegaf muda melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Tatkala itu, ia kuliah di dua perguruan tinggi, yaitu IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dan Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Bahkan, suatu ketika ia mengikuti ujian hadis di IAIN, ia berani mengkoreksi dan mengkritik soal ujian hadis yang ditulis oleh dosen tersebut di papan tulis. Sehingga dirinya dipanggil ke ruangan dosen untuk mendapatkan percepatan kelulusan di perguruan tinggi Islam itu.

Pada tahun 1976, Keilmuan Sayyid Ali muda diakui oleh gurunya Habib Ali bin Husein Alatas. Adapun Sohibul Ta’jul Arasy menjulukinya dengan Allamah, orang yang memiliki banyak ilmu. Ilmu-ilmu tersebut  antara lain ilmu tafsir al-Quran, hadis, fiqih, dan tasawuf. Saat itu pula ia mendapatkan ijazah kitab An-Nasoih Ad-diniyah oleh gurunya tersebut. Di sisi lain ia mendapatkan gelar Bahr al-Fahamah dari Prof. Dr. KH. Raden Abdullah bin Nuh pada tahun 1978.

Kemahiran bahasa Arab Sayyid Ali semakin meningkat. Kondisi tersebut diperoleh karena ia belajar bahasa Arab kontemporer dengan Habib Muhammad Asad bin Syihab di tahun 1970-an. Ia belajar bahasa Arab jurnalistik dari koran-koran dan majalah-majalah berbahasa Arab. Sehingga kecakapan bahasa Arabnya setara dengan akademisi-akademisi Arab. Hal tersebut terlihat dari struktur kalimat dan gaya bahasa Arabnya yang diucapkan mengikuti aturan baku tata bahasa Arab meliputi ilmu sintaksis (nahwu), morfologi (sharf), dan ilmu retorika bahasa Arab (balagah).

Berkah ilmu yang dimiliki, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf mengajar pada umur 15 tahun di Assagofah Islamiyah, Bukit Duri (madrasah milik ayahandanya). Selain itu ia pernah mengajar sekaligus menjadi kepala sekolah di Madrasah Islamic Center Kwitang yang merupakan embrio dari Madrasah Unwanul Falah tahun 1972. Ia meminta beberapa pengajar Assagofah untuk mengajar di madrasah tersebut diantaranya Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf, Mualim Ro’i, dan KH. Zarkasyi.

Tehnik pengajarannya yang khas yaitu ia tidak mau berpindah dari satu bab ke bab lain kecuali si murid telah menghafal dan memahami satu bab yang telah diajarkannya. Artinya, kesabaran antara guru dan murid diperlukan pada sebuah pembelajaran. Sayyidil Walid pernah berbicara kepada penulis, “Di zaman sekarang para pengajar agama di sekolah hanya mengejar target kurikulum tanpa memandang sejauh mana murid bisa mengerti dan memahami apa yang mereka pelajari. Sehingga banyak dari mereka sekedar pernah belajar tentang bab itu.”

Sayyidil Walid membina dan membimbing lebih dari dua puluh majelis taklim di JABODETABEK. Majelis utamanya yaitu di rumahnya sendiri yaitu Al-Afaf, Tebet Utara. Majelis tersebut telah berdiri kurang lebih dua puluh tujuh tahun lamanya. Majelis tersebut setiap sabtu dimulai setelah shalat Ashar berjamaah yang diimami oleh Sayyidil Walid sendiri. Kemudian membaca wirdhu latif sebagai zikir sore yang disusun oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Lalu beliau membaca dan menerangkan kitab-kitab kuning yang berkenaan dengan tauhid, fiqih, dan tasawuf.

Di samping itu, tokoh Betawi yang disegani semua kalangan tersebut juga membuka majelis khusus para ustad di kediamannya pada hari Rabu pagi. Dua kitab yang diajarkannya yaitu Ithafussadah al-Muttaqiensyarah Ihya Ulumuddin dan Fathul Bari syarah Sohih Bukhari. Karena prinsipnya, seorang guru bukan hanya mengajar saja akan tetapi harus tetap belajar. Prinsipnya tersebut bersesuaian dengan long life education, pendidikan sepanjang hidup.

Praktik long life education itu sendiri dijalani sampai masa senjanya. Di tahun 2013-2015, Sayyidil Walid berguru pada ulama Timur Tengah melalui jaringan online Skype dengan Al-Faqih Habib Abdullah bin Soleh Ba’bud (Madinah, Saudi Arabia) dan Dr. Ismail Al-Mishri (Dosen Al-Azhar Cabang Tonto Mesir). Bahkan, Dr. Ismail al-Mishri datang ke Jakarta mengunjungi Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pada tahun 2016. Keilmuannya diakui oleh ulama Indonesia dan Timur Tengah, sebab itulah UIN Jakarta ingin sekali mempersembahkan gelar Doktor Honouris Causa kepadanya. Akan tetapi beliau menolaknya.

Alm. KH. Syaifuddin Amsir sangat menganggumi Sayyidil Walid. Sehingga beliau menuturkan kepada Habib Ahmad bin Ali Assegaf (anak dari Sayyidil Walid), “Walidak (ayahmu) itu Allamah, karena beliau mengajar Kitab Fathul Bari ٍ Syarah Kitab Sohih Bukhari. Dimana jarang para guru yang mengajarkan kitab tersebut.”

Berdakwah dari satu wilayah ke wilayah lainnya merupakan jalan yang juga ditempuh Sayyidil Walid sebagai tongkat estafet dari dakwah para salafuna salihin. Dakwahnya yang lembut dan santun terinspirasi oleh QS An-Nahl [16]:125:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. 

Oleh karena itu ia juga dijuluki da’i ilawlah, karena mengajak ke jalan Allah dengan cara-cara Nabi Muhammad. Perjalanan dakwahnya diiringi sikap jabar khatir. Apa itu jabar khatir? Sikap dimana mau menyenangkan dan menggembirakan orang lain. Sehingga, dimana tempat yang mengundang beliau pasti ia datangi tanpa memilah dan memilih antara si kaya dan si miskin. Apalagi jika muridnya yang mengundang maka ia mendahulukan dari undangan-undangan lainnya.

Panutan Betawi tersebut juga membuka Majelis Nahwu dan Shorof setiap Senin dan Jumat selepas shalat Maghrib di rumahnya. Ia mendatangkan pengajar Timur Tengah, diantaranya Syekh Busyiri Abdul Mu’thi (Mesir), Syekh Mahdi Al-Misri (Mesir), dan Syekh Muhammad Al-Busyiri Al-Yamani (Yaman) untuk mengajarkan dasar-dasar bahasa Arab tersebut kepada remaja-remaja, pemuda-pemuda, hingga orang tua. Akan tetapi pada tahun 2010 akhir, beliau sendiri yang memutuskan untuk mengajarnya di majelis tersebut. Ia sempat menuturkan bahwa Bahasa Arab merupakan modal yang harus dimiliki seorang yang ingin menjadi da’i dan guru agama.

Presiden Subuh, julukan lain dari Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Sebab ia pencetus dan pelopor dari gerakan shalat subuh berjamaah di Jakarta. Sebagaimana Rasul bersabda, “Barangsiapa yang shalat subuh secara berjamaah maka seolah-olah ia shalat semalam suntuk”. Rasul juga bersabda, “Seorang muslim yang shalat subuh berjamaah di masjid, setelah itu ia berzikir kepada Allah sampai datang waktu israq, maka sesungguhnya ia mendapatkan pahala haji dan umroh yang sempurna.”

Gerakan Shalat Subuh Berjamaah pertama kali diresmikan  Habib Ali bersama BJ. Habibie pada tahun 1998 di Masjid Istiqlal, Jakarta. Pada masa itu merupakan masa transisi pemerintahan BJ. Habibie di Indonesia. Kala itu shalat subuh berjamaah diikuti oleh  presiden BJ. Habibie, para pejabat lainnya,  serta berbagai elemen masyarakat. Selepas acara tersebut, masing-masing kecamatan di DKI Jakarta membentuk koordinator sholat subuh gabungan.

Perlu diketahui pula, rutinitas tahunan Habib Ali yaitu mengajak jamaah dan para pecintanya untuk melakukan ziarah qubro ke maqam wali-wali Allah di Jabodetabek. Maqam-maqam tersebut diantaranya Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Husein bin Abubakar Alaydrus (Luar Batang), Habib Muhammad bin Umar al-Qudsi, Habib Ali bin Abdurrahman Ba’alawi, Habib Abdurrahman bin Alwi As-Syatiri (Kampung Bandan), Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad (Tanjung Priok), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas, Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad (Empang Bogor), Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf (Lalongok).  Beliau melakukan bersama mereka biasanya di bulan Sya’ban. Rutinitas tersebut dilakukan dalam rangka menyambung silaturahmi dengan wali-wali Allah dan bertawasul memohon keselamatan selama menjalani puasa dan ibadah di bulan Ramadhan.

Kini Sang Presiden Subuh, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf telah berpulang ke Rahmatullah. Kepergiaannya ditangisi oleh murid-muridnya, jamaahnya, dan para pecintanya. Namun sebelum kepergiannya meninggalkan pesan-pesan yang amat berharga untuk umat Islam di Indonesia. “Suatu saat saya tidak ada, saudara….. saya wasiatkan jangan tinggalkan majelis taklim, saudara akan kembali kepada Allah. Saya lebih dahulu atau saudara yang lebih dahulu, yang pasti kita akan kembali semuanya, Innalillahi wa innailahi raji’un.”

 







Posting Komentar

0 Komentar