Produktifitas Imam Ghazali dan Kitab al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)


Imam al-Ghazali hidup hampir 55 tahun dan sudah menulis buku sejak usia 20 tahun. Keproduktifannya terlihat ketika ia menghabiskan 10 sampai 11 tahun untuk membaca, menulis, dan mengajar. Selain itu, dia harus menjawab sekitar dua ribu pucuk surat yang berasal dari dekat dan jauh untuk meminta fatwa dan putusannya. Buku yang ditulis oleh Sang Imam berjumlah 400 judul, antara lain :
1.     Di bidang teologi: Al-Wasith (fikih Syafiiyah), Al-Basith al-Wajiz (tentang hukum agama), Bayanul Qaulani lisy-Syafii, Khulasatur-Rasail (inti fikih), Ikhtisarul-Mukhtasar, Ghayatul-Ghaur, Majmuatul fatawa (Kumpulan putusan hukum), ar-Risatul Qudsiyyah (hukum-hukum agama dari Nabi)
2.     Fikih: Khulasatul Fiqh (saripati fikih), Al-Wajiz, Al-Iqtishad fil I’tiqad (penjelasan akidah)
3.     Logika. Mizanul Amal, Mihakhun- Nazhar fil Manthiq (Batu Asah Pemikiran tentang Logika), Miyarul Ilm (Batu Timbang Ilmu), Al-Ma’arif (tentang diskursus logika)
4.     Filsafat: Maqashidul Falasifah (Tujuan Filosof), Munqidz Minadh Dhalal (terlepas dari kesesatan). Kitabul Arba’in (ringkasan dari Ihya), Ar-Risatul Laduniyyah (mengenai illham dan wahyu)
5.     Teologi Skolastik: Tahafatul-falasifah (kerancuan Filosof), Iqtishad, Mustajhari (mengenai petunjuk bagi kaum mualaf), Iljamtil Awam (Fitnah Orang Awam), Fa’isatuz Zindiq (Penolakan Kaum Ateis), Al-Fikr wal- Ibrah (Meditasi dan Kontemplasi), Al-Hikmah (Kebijaksanaan Tuhan), Hakikatur-Ruh (Hakikat Ruh)
6.     Spiritual dan Moral: Ihya-Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), Kimiya-i-Sa’adat (Kimia Kebahagiaan), Akhlaqul Abrar ( Amalan Orang Saleh), Jawahirul Qur’an (Permata Al-Quran), Minhajul Abidin (Jalan Para Pengabdi), Bidayah Hidayah (Permulaan Petunjuk)
7.     Tafsir: Yaqut At-Takwil ( berisi tafsir al-Quran dalam 40 Jilid yang tidak terselamatkan)
Kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali menjadi bukti kualitas dan kapabilitas sang pengarang di bidang fiqih. Di bagian akhir kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazâli menyebutkan bahwa kitab tersebut selesai ditulis pada tahun 503 H. Berbekal informasi ini dan bersandarkan pada publikasi ilmiah bahwa kitab tersebut ditulis selama tiga tahun, maka dapat disimpulkan bahwa beliau memulai proyek risetnya ini kurang lebih pada tahun 499 H. (Louay Safi:1996:8)
Pada tahun 499 H, al-Ghazâlî mendapat permintaan dari para mahasiswanya di Universitas Nidhâm al-Mulk agar menulis sebuah kitab pegangan (semacam diktat) tentang metode penggalian hukum Islam. Berbekal permintaan inilah, lalu dijawab oleh al-Ghazâli dengan menghadirkan kitab al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushûl. Jika menilik dari tahun akhir penulisan, maka kurang lebihnya al-Mustashfa adalah kitab akhir dari karya beliau. Kitabnya ditulis dalam kondisi alam pemikiran yang sudah benar-benar matang. (Louay Safi:1996:9)
Dr. Muhammad Tameer, pentahqiq kitab al-Mustashfa, menyebutkan bahwa tidak dipungkiri kitab al-Mustasyfa fi Ushul al-Fiqh merupakan kitab yang paling penting di antara kitab-kitab ushul fiqh pada umumnya. Biasanya,  kitab-kitab tersebut yang dikarang oleh para teolog atau ulama bermazhab syafiiyah pada khususnya. Kitab al-Mustasyfa satu diantara empat kitab yang biasanya diajarkan pada tataran madrasah bermazhab Syafii’. Ibn Khaldun berkata pada kitabnya yang berjudul “al-muqadimah”, “Kitab al-Mustashfa diantara terbaiknya kitab-kitab mutakalimin yang ada pada masa itu, kitab “al-Burhan” karya Imam Haramain (Imam Juwaini) , dan kitab “al-Mustashfa” karya Imam Ghazali, dua kitab tersebut berbasis kontruksi paham As-ariyah. Adapun kitab “al-Ahdu” Karya Abd al-Jabbar, dan syarah kitab al-Ahdu yaitu al-Mu’tamid karya Abi Husain al-Bashri, keduanya merupakan karya dari ulama Mu’tazilah. Keempat buku tersebut memuat kaidah-kaidah pada bidang “Ushul Fiqh” dan rukun-rukunya. Kemudian selain keempat kitab tersebut ada dua kitab yang berkaitan dari para mutakalim yang mutaakhirin, dua diantaranya yaitu kitab “Mahsul” yang ditulis oleh Imam Fakhruddin, dan kitab “al-Ihkam” yang ditulis oleh Syaifu al-Din al-Amudi.
            Para ulama sangat menghormati dan mempelajari kitab ini (al-Mustahfa) dengan penghormatan yang agung. Ulama-ulama dari Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali mengenal dan mempelajari kitab al-Mustashfa, serta memberikan perhatian penuh kepadanya. Salah satu ulama telah mensyarahkan dan meringkas kitab “al-Mustashfa”, seperti Imam Ibn Quddamah al-Muqadasi al-Hanbali pemilik kitab al-Mughni (620 H). Beliau menulis kitab “Raudah al-Nadzir wa Jannah al-Manazir” dengan gaya bahasa yang mirip seperti gaya bahasa Imam Ghazali dan memuat referensi (al-Mustashfa) sebagai tambahan kaidah-kaidah pada kitabnya.
            Kitab al-Mustashfa hadir di tengah-tengah para mutakalimin (teolog) dalam menentukan kaidah-kaidah ushul fiqih. Setelah sebelumnya kami (para pentahqiq kitab tersebut) dibuat gembira olehnya, karena kitab tersebut memperkaya khasanah keilmuan kami sehingga kami menerbitkannya dalam rangka untuk penelitian. Pentingnya kitab al-Mustashfa ini karena perbedaan alur tersebut dengan alur pemikiran ahli fikih lainnya antara lain:
  1. Penelitian para teolog atau mutakalim mementingkan kepada asas kaidah-kaidah ushul melalui dalil-dalil aqli dan naqli tanpa memperhatikan aspek harmonisasi mazhab si pengarang atau kontradiksinya. Oleh karena itu Al-Mustashfa bukan saja jalan untuk tunduk dalam satu mazhab saja akan tetapi ia memperjelas dalil-dalil permasalahan disertai dengan analisis di pengarang.
  2. Kegemaran Imam Ghazali dalam kerangka berfikirnya merujuk pada dalil aqli terlebih dahulu kemudian dikontruksikan dengan pandangan teoritis dalam menetapkan kaidah-kaidah ushul fiqih.
  3. Kitab al-Mustasfa lebih meringkaskan kaidah-kaidah fiqih dibanding permasalahan-permaslahannya, tanpa memandang furuiyah kecuali ketika permasalahan-permasalahan tersebut membutuhkan penjelasan dan keterangan.
Kecerdasan Imam Ghazali membuat para ulama-ulama di masanya kagum dan memujinya. Imam Haramain yang notabene gurunya berkata, “Imam Ghazali itu bagaikan lautan ilmu yang dalam”. Adapun Imam Muhammad bin Yahya yang ia sebagai murid Imam Ghazali berkata, “Al-Ghazali itu Imam Syafi’i kedua.” Ibn Jauzi berkata, “Imam Ghazaali unggul dalam teori pada materi-materi yang urgent atau materi yang dibutuhkan, pemikirannya di atas sahabat-sahabat semasanya, ia teliti dalam menggolongkan bab-bab yang ditulisnya pada sisi ushul dan furu’.”






Posting Komentar

0 Komentar