Elaborasi Filsafat terhadap Islam oleh Sayyid Muhammad Yusuf, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

Filsafat merupakan sebuah ilmu berfikir kritis untuk mengetahui hal-hal yang belum diketahuinya. Untuk itu, akal mempunyai peranan penting dalam berfilsafat. Terkadang masih ada yang menanggap antara filsafat dan agama merupakan dua term yang bersebrangan. Akan tetapi Wiliam Temple (w.1881) memberikan gambaran bahwa filsafat itu ialah menuntut pengetahuan untuk memahami sedangkan agama adalah menuntut pengetahuan untuk beribadah. Ia melanjutkan bahwa pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, akan tetapi perhubungan antara seorang manusia dengan Tuhan.[1]

            C.S. Lewis (w.1963), seorang pendeta Nasrani, menyatakan tentang perbedaan antara agama dan filsafat seperti enjoyment dan contemplation. Untuk memahami dua perkataan itu ia berikan contoh sebagai berikut: seorang lelaki mencintai seseorang perempuan ; rasa cinta itu dinamakan enjoyment, sedangkan memikirkan rasa cintanya itulah disebut contemplation.[2]

            Filsafat dan Islam merupakan dua termin yang telah terlebur menjadi Filsafat Islam.  Hal ini bertujuan agar muslim mempunyai cara berfikir   rasional dan empirik. Istilah orang-orang yang berfikir kritis disebut ulu al-bab. Sebagaimana Firman Allah Swt:

 “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.{Qs Al-Baqarah/2:269}

            Adapun ayat tersebut di dukung oleh sabda Nabi Muhammad SAW:

 “Pekerjaan seseorang diibaratkan seperti akal yang menunjukkan pemiliknya kepada kebenaran atau menolaknya atas penyimpangan.”

Melalui ayat dan hadis tersebut menunjukkan bahwa berfilsafat itu dibolehkan selama tidak menyimpang dari Al-Quran dan Hadis. Sebagai bukti,  filsuf-filsuf muslim seperti Al-Kindi (w. 866 H), Al-Farabi (w.950), Ibn Sina (w.1037), Ibnu Rusyd (w.1196) dan Nashr al-Din Al-Thusi (w. 1274), mereka mengelaborasikan antara pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran dalam Islam. Untuk itu aliran filsafat mereka adalah peripatik.[3]

Akan tetapi Suhrawardi (1191) mengkritik aliran tersebut dengan mendirikan aliran Iluminasionis. Berbeda dengan aliran peripatik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berfikir dan pencarian kebenaran, filsafat iluminasionis mencoba memberikan tempat bagi metode intuitif (irfani), sebagai pendamping bagi, atau malah , dasar bagi penalaran rasional. Suhrawardi mencoba mensintesiskan dua pendekatan yaitu burhani dan irfani dalam sebuah pemikiran yang solid dan holistik.[4]

            Burhani dan irfani, kedua term tersebut dianggap kurang untuk memenuhi kriteria berfikir sistematik dan sistemik. Untuk itu Abid Aljabiri (w. 2010), seorang filsuf Islam asal Maroko, melengkapi pemikiran aliran Ilminasionis tersebut dengan menambahkan term bayani sebagai representasi dari kajian teks.[5] Sehingga kerangka bayani, burhani, dan irfani membentuk kontruksi filsafat Islam.

            Pendapat Aljabiri di atas bisa dipahami bahwa bayani merupakan metode memahami teks bacaan yang memerlukan analisa si pembaca. Maka penalaran pembaca menjadi subjek tersendiri dalam memaknai dan menganalisa teks. Ada tipikal pembaca yang memaknai teks secara literal dan tekstual, ada juga pembaca yang menganalisis teks bacaan secara kontekstual dan komperhensif.

          Metode burhani menurut Abid al-Jabiri yaitu aktivitas kognitif atau bisa disebut juga demostratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai.

         Selain itu aliran irfani, Aliran mistik ini bukan hanya penalaran akal saja yang aktif akan tetapi disertai oleh penalaran hati yang merasakan pancaran sinar Tuhan.  Sebab penalaran hati yang demikian, akan membuahkan ketenangan dan kenyamanan hidup manusia. Maka  hubungan penalaran akal dan hati akan menghasilkan kesatuan eksistensi Tuhan yang ada pada diri seseorang.

        Realitas eksistensi manusia selalu bersama Tuhan implikasi dari ihsan. Sebagaimana Rasulullah mengungkapkan “Bahwa ketika kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatnya jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka Ia melihat kamu”. Hadis ini terkadang hanya diaplikasikan hanya dalam ibadah mahdah saja, seharusnya baik dalam ibadah mahdah maupun ibadah ghairu mahdah harus menginternalisasikan hadis tersebut sehingga ada kehati-hatian di dalam kehidupan sosial.

          Fethullah  Gullen menyatakan perasaan ihsan adalah seperti sebuah kunci rahasia untuk membuka lingkaran kesalehan. Orang yang berhasil membuka itu dan masuk lewat jalannya yang terang seakan-akan ia tengah naik menggunakan ekskalator, sehingga ia menemukan dirinya berada di ketinggian yang menajubkan. Selain anugerah seperti itu, jika ia mampu memberikan kehendaknya hak yang tepat, maka ia akan terus berjalan di jalannya dengan langkah naik yang mampu menjangkau dua derajat di setiap satu langkah.

 

Gambar diambil dari: kompasiana.com

[1] Wiliam Temple, Nature, and  God, (New York: Mac Milan, 1934), h. 80

[2] H. M Rasjidi, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang:1975), h. 10

[3] Istilah Peripetik yaiutu merujuk pada metodologi pemikiran Aristoteles dan Plato. Secara Umum metodologi yang digunakan ontologi, epistemologis dan aksiologis.

[4] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Lentera Hati: 2006, h. 44




Posting Komentar

0 Komentar