Kultur Masyarakat Madani oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)


Masyarakat Madani telah dibentuk Rasulullah SAW di Madinah. Masyarakat tersebut bersifat plural dan humanis. Sebab, kondisi tersebut dipayungi oleh Piagam Madinah, piagam yang intinya melindungi hak-hak kaum muslim dan toleransi kepada keyakinan masyarakat setempat. Wasilah inilah telah menjadikan sebuah wacana “Persatuan dalam Perbedaan” di dalam sebuah kota atau negara.

            John L. Esposito mendeskripsikan Masyarakat Madinah terdiri dari banyak golongan , keluarga (klan), termasuk beberapa golongan keluarga Yahudi. Saat itu Nabi Muhammad dapat mengkonsolidasikan kekuasaan dan wewenangnya, memasukkan keluarga-keluarga penyembah berhala dalam Islam. Pada akhirnya, Muhammad tidak hanya menjadi Rasul tetapi juga pemimpin masyarakat. Untuk itu Islam tidak mengenal adanya pemilahan antara agama dan negara, antara agama dan masyarakat, individu dan komunitas.[1]

            Hal di atas menggambarkan bahwa Nabi Muhammad adalah tokoh humanisme dunia. Sebagaimana ia bersabda, من لا يرحم الناس لا يرحمه الله عز و جل”- Barangsiapa yang tidak mengasihi manusia, maka Allah azza wa jalla tidak akan merahmatinya.[2] Pesan inilah yang memuat informasi bahwa Islam merupakan agama yang humanis dan agama yang menjalin ukhuwah insaniyah.[3]

            Konsep persaudaraan sesama manusia yaitu mengeyampingkan ego kesukuan, pemaksaan dalam agama, dan ekslusif pada pergaulan. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam QS al-Hujurat/49:13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [QS: Al-Hujurat/49:13]            

Sedangkan Mengenai kehidupan beragama di dalam Al-Quran agar tidak saling memaksa antara satu pemeluk agama lain. Al-Quran mengarahkan agar umat beragama meyakini agamanya dengan kesadaran dan keinsyafan yang tulus, karena telah antara petunjuk dan kesesatan serta telah jelas pula antara hak dan batil. Allah swt berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ   

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS:Al-Baqarah/2:256].

Bukan berarti dengan adanya ayat di atas menjadikan manusia gampang berpindah agama ataupun dan merasa benar dengan agamanya. Akan tetapi, setiap pemeluk agama hendaknya konsekuen meyakini agamanya masing-masing dan beribadah menurut keyakinannya.[4] Di sisi lain antar pemeluk agama mempunyai toleransi dan tenggang rasa sebagai wujud Persatuan dan Keragamaan. Sebagaimana firman Allah:

قُلْ يَا أَيُهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

         Katakanlah: “Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula mu menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamamu. [QS:Al-Kafirun/109:1-6]

         Melalui konteks ayat-ayat Al-Quran dan hadis di atas maka Persatuan dalam Perbedaan terbangun atas konteks humanism (Telaah Kritis Piagam Madinah). Hal itu telah dibangun oleh Rasulullah melalui Piagam Madinah.

Gambar diambil dari: pengajar.co.id



[1] John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth Or  Reality, New York: Oxford University Press:1996, h. 39

[2] Hadis  Shahih Riwayat al-Bukhari: 6828

[3] Ukhuwah Insaniah merupakan persaudaraan umat manusia yang mewujudkan kedamaian dunia melalui interaksi

[4] Zakky Mubarok, Menjadi Cendekiawan Muslim, Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniyah: 2010, h. 373





Posting Komentar

3 Komentar

Adhi farhan mengatakan…
Alhamdulillah lanjutkan terus habibana ��keren ����
Qiwamudin mengatakan…
Mantap bib, terus berkarya, tulisan yang menarik
Gusti K mengatakan…
Sungguh Rasulullah SAW sudah mencontohkan bagi kita dalam menjalankan tatanan hidup yang baik untuk zaman sekarang sedari dulu. MashaAllah.

Lanjutkan dan terus berkarya Habib