Hubungan Ukhuwah Wathoniyah dan Negara Ideal Oleh: Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)




            Pada saat seseorang tinggal di negeri sendiri, ukhuwah wathaniyah kurang terasa berpengaruh dalam dirinya. Begitu ia berada di luar negeri, baik ia merantau, menuntut ilmu, atau bekerja di sana. Demikian juga berpengaruh   pada menguatnya persatuan dan persaudaraan dalam ikatan tanah air yang sama. Perbedaan suku, bahasa, adat istiadat, agama, hendaknya disatukan dalam hubungan sosial dan persaudaraan setanah air atau ukhuwah wathaniyah.
            Mencintai tanah air merupakan pernyataan syukur seorang hamba dengan Khaliknya yang telah mengaruniakan padanya tanah air yang indah. Di tanah air itu kita dibesarkan oleh kedua orang tua kita, memperoleh pendidikan dari guru-guru, bergaul dengan teman sejawat sejak masa kanak-kanak sampai tutup usia.
            Maka menjadi penting antara hubungan pemimpin dan masyarakatnya pada ukhuwah wathoniyah. Ketika relasi hubungan keduanya baik dan harmonis maka akan tercipta Al-Madinah al-Fadhilah (Negara Ideal). Hal ini seperti yang telah dibangun oleh Rasulullah di Madinah melalui Piagam Madinah.
            Al-Madinah al-Fadhilah adalah termin yang telah dibuat oleh Al-Farabi. Termin tersebut definisikan yaitu terciptanya masyarakat yang egaliter dengan seorang pemimpin yang bijaksana, mendahulukan kepentingan bersama, dan mampu membimbing masyarakatnya menuju kehidupan yang dapai dunia dan akhirat. (Moh Asy’ari Muhtar:2018:8)
            Untuk membetuk al-Madinah al-Fadilah perlu pemimpin yang adil dan menjalankan pemerintahan yang mensejahterakan rakyatnya. Sebagaimana Plato dan Ibnu Abi Rabi’ yang berpendapat bahwa pemimpin itu adalah seorang yang termulia di masyarakatnya (Jalal Syaraf:1996:214). Oleh karena itu seseorang yang mau melarang orang lain dari berbuat sesuatu yang dianggap melanggar peraturan dan  tatanan kehidupan serta memerintahkan warganya untuk berbuat sesuatu yang mendatangkan manfaat yang dapat dirasakan bersama oleh masyarakat harusnya orang yang dapat dirasakan bersama oleh masyarakat haruslah orang yang dapat memberikan contoh agar menjadi panutuan dan orang terdepan.
            Maka kriteria dan karakter  seorang pemimpin untuk membentuk tatanan al-madinah al-fadilah begitu penting. Ibn Abi Rabi’ memberikan kriteria tersebut, antara lain: (Ibnu Abi Rabi’:1980:102)
·      Seorang kepala negara tidak boleh orang yang mudah marah, pemarah
·      Bukan orang yang mudah bersumpah
·      Tidak boleh orang yang pelit
·      Tidak boleh orang yang memiliki sikap dengki (pendengki) atau pendendam
·      Bukan orang yang suka melakukan tindakan yang tindak berfaedah (menyia-nyiakan waktu)
·      Tidak boleh orang yang penakut
·      Tidak boleh yang suka berfoya-foya dan suka berbangga dengan keduniaan (hidup glamour dan hura-hura)

Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibnu Abi Rabi’ di atas dapat diiartikan bahwa Ibnu Abi Rabi’ telah memberi kemasan bagi pemikiran politiknya dengan sentuhan-sentuhan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa pandangan beliau tentang bentuk negara ideal bukan pandangan prototipe Plato.

Jika kriteria kepala negara sudah dipenuhi layaknya seperti yang disebutkan Ibnu Abu Rabi maka selanjutnya pemimpin tersebut bisa mengelola negara dengan baik.  Beliau juga mengingatkan bawa kepala negara agar menghindari:

·       Mengangkat seseorang yang tidak memiliki kelayakan, tidak memiliki kapabilitas karena hal ini akan berakibat fatal terhadap kondisi negara
·       Mengangkat seseorang yang tidak jujur, yaitu orang yang tidak dipercaya
·       Mengangkat seseorang yang bertugas menjaga rahasia negara, tetapi tidak dapat dipercaya (tidak amanah) karena karena dia akan membuka rahasia negara
·       Mengangkat seseorang yang bertugas untuk menjaga keamanan, tetapi tidak memiliki kecakapan, maka akibatnya dia akan merusak
·       Mengangkat seseorang untuk menjadi pejabat, tetapi mengabaikan tugasnya. Ini menunjukkan kelemahan integritasnya.

Berdasarkan apa yang disampaikan Ibnu Abi Rabi’ di atas terkait dengan bagaimana mengelola negara dengan baik, dapat disampaikan beberapa hal penting bahwa negara akan menjadi lebih baik jika dikelola oleh orang-orang yang memiliki karakter sebagai berikut:

·       Berkelayakan, yaitu orang-orang yang memiliki kepribadian yang baik dan memiliki kapabilitas yang cukup
·       Memiliki sikap jujur dan bertanggung jawab
·       Dapat dipercaya dan tidak mudah berkhianat
·       Orang-orang yang memiliki loyalitas tinggi bagi yang bertugas menjaga keamanan negara (dan tidak berkhianat)
·       Memiliki komitmen tinggi pada pekerjaannya
·       Memiliki integritas tinggi

Pengelolaan negara yang dikonsepsikan Ibnu Abi Rabi’ pada dasarnya menekankan pada SDM (sember daya manusia) yang berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas ini diharapkan pengelolaan negara dapat berjalan dengan baik, bahkan secara otomamik dapat berjalan dengan sendirinya secara sistematik sesuai dengan aturan dan tata tertib yang diberlakukan tanpa harus dikontrol dan diawasi secara ketat, sehingga profesionalitas dalam bekerja dapat terwujud.

Sebaliknya antonim dari al-Madinah al-Fadilah yaitu al-Madinah al-Jahiliyah. Al-Madinah al-Jahiliyah adalah negara yang para warganya tidak mengetahui tentang arti kebahagiaan, dan hal ini memang tidak pernah terlintas di dalam benak mereka. Sebab keinginan mereka terhadap hal-hal yang bersifat materi terlalu besar dan mereka tidak sudi berfikir tentang hakikat materi yang berujung pada pencipta pertama. Mereka hanya berfikir tentang masalah yang dihadapi saat ini, dan tidak sedikit pun mereka berfikir kehidupan yang akan datang.

Jika suatu negara sudah dijulukan al-Madinah al-Jahiliyah maka akan terjadi liberalisme dan kapitalisme. Sebab termin tersebut akan  menciptakan kesenjangan sosial yang terlihat pada rakyatnya. Hal tersebut  akan mengkikiskan kesejahteraan  bersama dan meningkatkan rasa curiga antara rakyat dan kepala negara.

Al-Farabi menyebutkan bahwa negara yang mempunyai stratifikasi sosial mencolok maka ada kelompok-kelompok yang disebut al-muntaqannisun, al-muharrifun, al-mariqah, al-mustarshidun, al-muzzayafun.  

Al-Mutaqannisun (orang berburu) dimaknai dalam komunitas Islam diibaratkan sebagai orang yang seakan-akan secara khusyuk melaksanakan ajaran agama Islam, dan percaya kepada Tuhan, hal yang gaib, serta hari kiamat, namun sesuatu yang dilakukan tersebut hanya agar orang lain menaruh hormat kepada dirinya.

Al-Muharrifun (orang orang yang menyeleweng), mereka hanya ingin menuruti hawa nafsu sekalipun melanggar peraturan-peraturan dalam negara itu. Mereka dengan kepandaian pengolahab kata-kata mampu membuat interpretasi-interpretasi terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dengan argumentasi-argumentasi yang bisa diterima.

Al-Mariqah (orang-orang yang keluar dari ketentuan) yaitu orang-orang yang sebenarnya tidak bermaksud menyelewengkan peraturan-peraturan negara, tetapi karena keterbatasan akal maka interpretasi mereka menjadi salah terhadap peraturan-peraturan yang ada. Sehingga hal yang mereka lakukan bertolak belakang dengan hal yang sebenarnya dimaksudkan oleh pimpinan utama.

Al-Mustarshidun (orang-orang yang mencari ketenangan), mereka selalu diliputi keraguan dalam berkeyakinan. Mereka ingin membuktikan kebenaran keyakinan mereka selama ini, baik melalui pernyataan-pernyataan maupun perbuatan. Mereka tidak berlawanan dengan negara, akan tetapi mereka secara terus menerus mencari bukti kebenaran yang mereka yakini.

Al-Muzayyafun (orang-orang yang memalsukan), mereka selalu memalsukan keterangan tentang keyakinan benar yang ada selama ini, sekalipun mereka mengetahui secara pasti bahwa keyakinan tersebut benar adanya. Tujuan mereka dengan prilaku tersebut hanya untuk mendapatkan keuntungan.



    




Posting Komentar

1 Komentar

Unknown mengatakan…
Wathaniyah dan konsep syukur memang berhubungan erat layaknya suami dan istri