Refleksi Spiritual Atas Kenormalan Baru oleh Muhammad Irfan Wahid, Lc, M.Si


Mungkin sebagian orang akan dengan pesimis bertanya tentang maksud dari kata kenormalan baru (baca: New Normal). Mungkinkah ada “kebaruan” dalam sesuatu yang normal? Sebelum kita nanti mengaitkan diskusi hal ini dengan agama, dalam hal ini adalah Islam, baiknya kita memahami dulu apa itu kenormalan yang baru. Agar kita sama-sama mengerti apa yang sedang kita perbincangkan.
Kata ‘normal’ dalam definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti suatu keadaan yang menurut aturan atau menurut pola umum sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah, sesuai dengan keadaan yang biasa, tanpa cacat, tidak ada kelainan dan bebas dari gangguan jiwa[1].
Dalam konteks pandemic ini, tentu normal yang dimaksud lebih dekat kepada suatu keadaan dimana segala hal menurut kepada aturan dan pola yang umum. Normal adalah dimana orang-orang terbiasa dengan hal-hal yang biasa mereka lakukan. Entah itu hal yang bersifat esensial maupun superfisial.
Yang kemudian muncul dan menjadi pertanyaan, mungkinkah ada hal yang disebut dengan ‘kenormalan yang baru’?. Padanan kata ini kalau diartikan secara harfiah akan bermakna upaya untuk memperbaharui segala aturan dan norma umum. Dari definisi tekstual ini kita bisa melihat semangat dinamis. Bahwa normal itu tidak pasif, melainkan selalu bergerak progresif.
Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri menyajikan sebuah tawaran padanan kata yang mungkin memberikan semangat yang sama. Berasal dari derivasi kata normal, lahirlah sebuah kata lain yakni ‘normalisasi’ yang berarti sebuah tindakan menjadikan normal (biasa) kembali, tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan, yang biasa atau yang normal.
Kenormalan Baru Yang Dibangun Dari Reruntuhan Masa Lalu
Dalam bukunya yang berjudul Pandemic! Covid-19 Shakes The World, Slavoj Zizek (2020) membuat sebuah pernyataan yang menarik dan kemudian melahirkan sebuah terma baru yang kita sedang diskusikan sekarang, pernyataan tersebut berbunyi begini:
There is no return to normal, the new “normal” will have to be constructed on the ruins of our old lives, or we will find ourselves in a new barbarism whose signs are already clearly discernible[2].
Tidak ada kemungkinan kembali ke keadaan normal, melainkan kenormalan baru akan dibangun dari puing-puing kehidupan lama kita atau kita akan menyaksikan diri kita dalam kebiadaban baru yang tanda-tandanya sudah terlihat jelas.
Zizek tidak sedang membual dengan prediksinya tersebut, ia sedang menawarkan solusi filosofis dari fenomena yang sedang terjadi. Dimana realitas keagamaan sedang dibenturkan dengan sains, sistem ekonomi gotong royong dihadapkan dengan raksasa kapitalisme, arus informasi mengaburkan kebenaran dan otoritasnya. Dan semua itu sudah terjadi berulang-ulang dalam sejarah manusia, namun kita enggan secara bijak memahami dan mengambil hikmahnya. Zizek menulis,
Hegel wrote that the only thing we can learn from history is that we learn nothing from history[3].
Mengutip Hegel, Zizek mengungkapkan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita pelajari dari sejarah adalah kita tidak mempelajari apapun dari sejarah. Manusia memiliki kecenderungan mengabaikan peristiwa-peristiwa yang harusnya bisa dihikmati.
Dalam tulisan ini, saya tidak sedang mengamini seluruh argumen yang diungkapkan oleh Zizek di atas.  Namun, baiknya kita renungkan bagaimana al-Quran sendiri berbicara tentang kerusakan sebagaimana tertuang dalam surah al-Rum (30) ayat 41 berikut:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ 
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Al-Rum [30]: 41).
Dari ayat di atas, mungkinkah yang dimaksud dengan kata “yarji’un” adalah sebuah kenormalan yang baru? Ini adalah poin yang bisa kita diskusikan nanti. Sebelumnya, saya akan mengajak anda untuk kembali merenungkan perubahan sosial yang kita alami selama pandemic ini.
Physical Distancing, Ruang Publik Baru dan Keadaan Sosial Kita
Saya mencoba menerka apa kira-kira yang akan diwariskan oleh pandemik Covid 19 ini di kemudian hari. Hal yang pertama kali muncul dalam benak saya adalah kita akan terbiasa dengan jarak yang kita buat selama pandemi ini melanda dunia. Sebagaimana bunyi hukum inersia yang menyatakan bahwa semua benda fisik akan memiliki kecenderungan untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya, kita yang terbiasa dengan physical distancing akan mengalami kekakuan setelah sekian lama hanya terhubung lewat saluran-saluran media sosial.
Ketika wabah ini melanda, kita dipaksa untuk membatasi jarak kita. Kita dilarang bersalaman, dianjurkan menghindari kerumunan dan diatur untuk bekerja dari rumah saja. Selayaknya teori kelembaman berlaku pada benda, hukum itu juga berlaku pada jiwa sosial kita. Di awal pandemik ini, kita sulit sekali untuk menerima bahwa kita harus karantina mandiri di rumah, mengisolasi diri kita jauh dari hiruk pikuk sosial yang nanti akan kita rindukan.
Kira-kira, pasca Covid 19 ini berlalu, kita akan berjarak secara sosial dengan manusia lainnya. Dengan teknologi yang memungkinkan kita bekerja dari rumah, kita dibuat menjadi individu yang mekanistik. Dari rumah kita dibuat bekerja bagai robot. Dengan evaluasi dan monitoring sistematik, kita didisiplinkan sedemikian rupa. Waktu kita habis di rumah, terkurung dari orang-orang yang biasa kita temui.
Sebagai makhluk sosial, di tengah isolasi ini kita rindu dengan ruang perjumpaan. Semacam public sphere a la Habermas, namun lebih sederhana. Kita merindukan obrolan ringan di warung kopi, gosip ibu-ibu ketika membeli ikan di kompleks. Dalam konteks keagamaan, kita rindu perayaan selamatan, maulidan, tarawih Ramadhan dan tausiyah singkat sebelum berbuka.
Mungkin bagi sebagian orang, hubungan relasional tadi terkesan singkat dan tanpa makna. Namun bagi saya sendiri, ada hal-hal yang tidak bisa diwakili oleh teks-teks chatting namun bisa tumpah dalam sebuah ruang perjumpaan. Karena itu, saya selalu girang apabila ada dosen yang menganjurkan perkuliahan dilakukan dengan virtual meeting.
Di tengah krisis ini, muncul sebuah pertanyaan. Ketika wabah ini berlalu dan orang-orang telah terbiasa dengan sekat mereka masing-masing, lantas bagaimana agama memainkan perannya untuk merekatkan kembali jarak ini?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, agak riskan memang kalau kita hanya menghadirkan argumen-argumen keagamaan tanpa memperhatikan pendekatan-pendekatan lain semisal pendekatan sosial. Hal ini karena teks keagamaan tadi akan sulit diterjemahkan ke dalam konteks operasional. Saya mengutip Nurcholish Madjid (1987: 156) ketika menjabarkan tantangan umat beragama pada abad modern, untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut agama harus disandingkan dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia.
Diyakini atau tidak, wabah ini semakin meningkatkan kesadaran manusia akan tanggung jawab pribadinya masing-masing. Tanggung jawabnya untuk menjaga kesehatan dirinya dan keluarganya di rumah. Tanggung jawabnya untuk menghadirkan rasa aman dengan cara menjaga kebersihan, mengikuti pola hidup sehat dan mengantisipasi segala bentuk celah penyebaran virus.
Di sini agama dituntut perannya untuk menanamkan rasa tanggung jawab sosial bagi pemeluknya. Tidak perlu ada lagi perdebatan antara pandangan keagamaan dan ilmu pengetahuan. Ketimbang menyampaikan pendapat yang mempertentangkan antara agama dan ilmu pengetahuan, para dai diminta untuk menyampaikan tausiyah sosial kebangsaan untuk merekatkan sendi-sendi kebangsaan.
Islam mengajarkan tanggung jawab kepada Allah di akhirat kelak, karena itu di dunia pemeluknya dituntut untuk bisa melakukan kebaikan sebanyaknya dan menebar manfaat seluasnya. Dalam konteks ini, keimanan akan memiliki implikasi langsung kepada amal saleh yang memasyarakat. Di situlah kebenaran Islam ditunjukkan tidak hanya dalam aspek kognitif namun terpancar dalam aspek sosial kemasyarakatan dalam pribadi masing-masing pemeluknya. Sebagaimana QS 6 ayat 121 yang berbunyi, “wa ja’alnaa lahu nuuran yamsyii bihii fi an-naasi” (dan kami berikan ia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak).
Selain tanggung jawab sosial, agama juga dapat memainkan peran untuk menumbuhkan kerjasama kemanusiaan. Disebabkan tanggung jawabnya kepada Allah, seorang manusia harus selalu berpijak pada prinsip persamaan. Dalam Islam, manusia senantiasa diseru untuk menggalang kerjasama atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan. Sekat-sekat sosial bisa dihilangkan dengan prinsip kebersamaan ini. Tidak perlu ada lagi narasi mempertentangkan antara orang kaya yang bisa tertular virus oleh orang miskin. Atau sebaliknya, kelas menengah yang kerap mengkampanyekan work from home sementara kelas bawah berjibaku di lapangan dengan keadaan ekonomi yang morat-marit.
Dengan prinsip kebersamaan, “wa ta’aawanuu ‘alal birri wa at-taqwaa”, (QS. 5: 2) sekat sosial tersebut bisa kita sibak. Tidak perlu memandang agama, status sosial, pendidikan, organisasi keagamaan, kita bisa bersama-sama melewati proses penyembuhan setelah pandemik ini.


 Gambar diambil dari: www.actconsulting.co




[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Luring, (2020), Versi 1.5.1.
[2] Slavoj Zizek, (2020), Pandemic! Covid-19 Shakes The World, New York & London: OR Books, h. 3.
[3] Slavoj Zizek, (2020), Pandemic! Covid-19 Shakes The World, New York & London: OR Books, h. 3.




Posting Komentar

0 Komentar