Riview Buku "Cinta itu Indah"


 Judul                           : Cinta Itu Indah

Penulis                        : Rizem Aizid

Tahun Terbit               : 2017

Penerbit                       : DIVA PRESS

Jumlah Halaman         : 250

ISBN                      : 9786023914425, 602391442X

Imam Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh terkenal dalam islam. Ia dikenal karena pemikiran – pemikirannya yang sangat brilian dalam berbagai bidang, terutama filsafat, tasawuf, dan pendidikan islam. Imam Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh filsuf dan tasawuf yang memiliki julukan Hujjatul Islam, julukan tersebut didapatkan sebagai penghargaan karena beliau banyak memberikan sumbangan bagi perkembangan keilmuan islam. Ia mendapat julukan ini karena ia adalah seorang mujahid islam di lapangan ilmu dan pemikiran. Ia terkenal sebagai penyelamat penyelamat umat dari kekeliruan berpikir yang disebabkan oleh pemikiran – pemikiran yunani yang masuk ke dalam islam. Oleh karena itu dalam buku “Cinta Itu Indah” menjelaskan perjalanan serta pencapaian Imam Al-Ghazali.

Pada isi buku ini juga dijelaskan bagaimana Imam Al-Ghazali sebagai filsuf dan pemikirannya. Dalam dunia filsafat islam, nama Imam Al-ghazali sudah sangat terkenal. Ia termasuk salah satu filsuf muslim terbesar sepanjang sejarah, karena pemikiran – pemikirannya memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan islam dan filsafat islam.

Pemikiran filsafat Imam Al-Ghazali banyak berisi sanggahan atau bantahan terhadap pemikiran – pemikiran para filsuf sebelumnya, seperti Aristoteles (382-322 SM), al-Farabi (874-999 M), dan Ibnu Sina (980-1037). Salah satu pemikirannya yang banyak dikagumi dan telah memengaruhi filsafat ketimuran ialah tentang metafisika. Imam Al-Ghazali memberikan kritik terhadap para filsuf terdahulu lewat karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat) dengan sangat lengkap. Ia membagi filsuf ke dalam 3 kategori yaitu, filsuf materialis, filsuf naturalis, dan filsuf ketuhanan.  Tetapi dalam mengkritik pemikiran para filsuf ketuhanan, Imam al-Ghazali tidak serta merta membantah seluruh pemikiran mereka. Sebab yang ia bantah hanya pemikiran – pemikiran yang menurutnya menyesatkan. Menurutnya pemikiran filsafat para filsuf ketuhanan bisa terbagi menjadi pemikiran yang tidak perlu dibantah (dapat diterima), pemikiran yang dianggap bid’ah, dan pemikiran yang dianggap kafir.

Selain dikenal sebagai filsuf, Imam Al-Ghazali juga dikenal sebagai ahli tasawuf dan sufi. Ia dikenal sebagai tokoh tasawuf yang besar karena salah satu kemampuannya dalam memadukan antara tasawuf dan filsafat secara seimbang. Adapun faktor utama Imam Al-Ghazali mempelajari tasawuf yaitu karena keinginannya untuk mencari ilmu pengetahuan yang mutlak benarnya atau bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan yang pasti dan tidak bisa salah. Awalnya ia mencari ilmu semacam itu dalam dunia filsafat dengan mempelajari tulisan – tulisan para filsuf sebelumnya tanpa melalui seorang guru. Dalam mempelajarai filsafat ia membaca banyak tulisan dari berbagai cabang filsafat, hingga akhirnya ia menguasai ilmu filsafat secara autodidak dalam waktu singkat. ketika sudah menguasai ilmu filsafat nyatanya ia tidak menemukan ilmu yang ia cari. Dan berakhir dengan memutuskan untuk menyendiri serta merenungkan semua hal yang telah ia pelajari.

Akibat dari tidak menemukan ilmu pengetahuan yang mutlak pada ilmu filasafat, Imam Al-Ghazali merasa tidak puas atas ilmu filsafat yang sudah dikuasai dan beralih ke jalan tasawuf. Akhirnya ia mendekati ilmu tasawuf dari sisi intelektualnya. Karena Ia meyakini bahwa para sufi dan para pencari kebenaran ialah orang – orang yang benar – benar mencapai tujuan, yaitu menemukan ilmu yang mutlak kebenarannya.

Sejak memutuskan untuk terjun ke dunia tasawuf, Imam Al-ghazali melarutkan diri dalam praktik – praktik ala sufi, seperti menyepi dan menyendiri (riyadhah). Ia tidak lagi berkecimpung dengan kata – kata, melaikan dengan pengalaman. Karena bagi Imam Al-Ghazali, orang sufi merupakan orang yang lebih suka pada pengalaman daripada kata – kata. Dan menyadari bahwa tujuan hidup hanya bisa dicapai lewat pengalaman pribadi, luapan gairah, dan suatu perubahan watak. Ia menyibukkan dirinya untuk memurnikan jiwanya dari kekejian, memperindah jiwanya dengan kebajikan – kebajikan, dan mengisi jiwanya dengan dzikrullah. Imam Al-Ghazali membutuhkan waktu selama 10 tahun untuk melakukan latihan jiwa yang sangat berat. Dan dalam melakukan latihan tersebut ia selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam waktu 10 tahun itu, Imam Al-Ghazali benar – benar menjadi seorang sufi dan berhasil meraih tujuannya. Dan jalan tasawuf merupakan jalan terakhir yang ia jalani sampai akhir hayatnya.

Imam Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai fondasi teologisnya, bukan hanya sebagai jalan hidupnya saja. Dan Imam Al-ghazali menjadi satu – satunya sufi yang berhasil memadamkan api truth claim diantara madzhab – madzhab yang saling berseteru pada masanya. Imam al-ghazali juga berhasil meracik pemikiran tasawufnya sendiri sehingga mampu menjadi kontribusi yang sangat spektakuler, dengan formulasi tasawufnya itu, ia dapat menyatukan pandangan atau setidaknya mendekatkan presepsi antara golongan ahlusunah dengan golongan tasawuf. Hingga pada akhirnya truth claim yang terjadi di antara dua golongan tersebut berhasil diminimalkan.

Sebagai seorang sufi dan ahli tasawuf, ketenaran Imam Al-Ghazali tidak hanya diakui oleh umat islam saja, tetapi diakui juga oleh umat non – islam. Banyak pemikiran Imam Al-Ghazali yang dijadikan referensi oleh orang – orang nasrani. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali bersifat universal. Berikut ini merupakan pokok – pokok ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali yang bersifat universal.

Yang pertama adalah tentang Mahabbah atau cinta. Ajaran tasawuf ini banyak dijadikan referensi sampai saat ini. Mahabbah dalam pandangan Imam Al-Ghazali bukanlah mahabbah seperti pandangan orang awam. Secara bahasa mahabbah berarti “mencintai secara mendalam”. Dari makna tersebut, Imam Al-Ghazali mendefinisikan mahabbah sebagai kecenderungan hati kepada yang dicintainya karena ia merasa senang berada di dekatnya. Mahabbah dalam konsep tasawuf Imam Al-Ghazali sendiri hanya ditunjukkan kepada Allah SWT., Rasul-Nya, dan para Wali-Nya.

Adapun penjelasan tentang mahabbah menurut Imam Al-Ghazali yaitu, “Mahabbah itu pertama-tama berlaku di antara Allah dan para wali-Nya. Al-Qur'an telah mengisyaratkan hal itu. Allah berfirman, Adapun orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah" (QS. al-Baqarah [2]: 165); "Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya" (QS. al Maa'idah [5]: 54). Jika Anda berkata dan nafsu Anda yang buruk itu memberontak, "Bagaimana engkau mencintai orang yang tidak engkau lihat dan ia bukan dari jenismu?" Sesungguhnya, Anda mencintai Sang Pencipta melalui keindahan ciptaan-ciptaan-Nya yang tampak. Perhatikanlah tanah yang luas beserta isinya berupa berbagai lukisan indah, sayuran, pepohonan, buah-buahan, dan sungai sungai. Lihatlah angkasa dan seisinya berupa pergantian siang dan malam, matahari, bulan, serta planet-planet yang besar dan kecil. Ini semua merupakan tanda-tanda ciptaan Pencipta dan bukti keabadian keberadaan-Nya. Maha Suci Tuhan yang mencipta segala ciptaan. Karena itu, diri Anda akan bumbang manakala Anda memikirkan yang lebih agung daripada yang Anda lihat dan yang Anda dengar. Sesuatu yang menunjukkan kepada Anda, sebagai bukti terkuat dan kecintaan kepada-Nya, merupakan kenikmatan orang yang mendengar kalam-Nya. Sebab, ia merupakan mukjizat yang tiada bandingnya. Dengan itu ditunjukkan kecintaan kepada yang Maha Berbicara”. Imam Al-Ghazali juga menerangkan dalam kitab Al-mahabbah bahwa tingkat maqan tertinggi ialah kecintaan kepada Allah SWT.

Imam Al-Ghazali membagi cinta atau mahabbah menajdi emapat tingkatan, yaitu: yang pertama atau yang terendah adalah cintai diri, yang kedua adalah mencintai orang lain selama orang tersebut membawa keuntungan bagi dirinya, yang ketiga adalah mencintai orang lain meski tidak mendatangkan keuntungan, dan yang terakhir adalah cinta murni.

Yang kedua tentang Ilmu dan Amal. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu dan amal merupakan media untuk sampai kepada Allah Swt. Setiap orang yang berakal, menurut Imam al-Ghazali, memiliki satu tujuan hidup, yaitu bertemu dengan Allah Swt. di Dar ats-Tsawab (surga), dan tidak ada jalan lain untuk men capai tujuan itu kecuali dengan ilmu dan amal. Ia memandang bahwa orang yang memiliki ilmu dan amal termasuk dalam orang-orang yang istimewa. Imam al-Ghazali juga menjelaskan tentang macam-macam ilmu. Karena menurutnya, ilmu terbagi menjadi banyak macam. Dari semua macam ilmu tersebut, ada satu ilmu yang paling dekat, yaitu ilmu yang berorientasi pada akhirat. Dan, contoh ilmu semacam ini ialah ilmu syariat, tafsir, ilmu hadits, serta bacaan al-Qur'an dan wirid.

Yang ketiga tentang Makna Tasawuf. Menurut pandang Imam Al-Ghazali tasawuf itu meliputi dua hal yaitu, ketulusan kepada Allah SWT. Dan pergaulan yang baik dengan orang lain. Karena ini lah yang membuat Imam Al-ghazali memilih jalan tasawuf sebagai jalan hidup dan jalan teologisnya. Sebab saat mempelajarai filsafat ia tidak menemukan kedamaian, tetapi saat belajat tasawuf ia dapat menemukan tujuan hidupnya.

Yang keempat tentang Makna Ibadah. Menurut Imam Al-Ghazali ibadah adalah memelihara kehadiran bersama Al-Haqq tanpa merasakan yang lain. Adapun makna ibada yang dituturkan oleh Imam Al-Ghazali adalah: "Engkau pun bertanya tentang makna ibadah. Ketahuilah bahwa ibadah memelihara kehadiran bersama Al-Haqq tanpa merasakan yang lain, bahkan melalaikan sesuatu selain-Nya. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan tiga hal berikut: perhatian terhadap syariat, keridhaan terhadap qadha-qadar dan karunia Allah, dan meninggalkan tuntutan pilihan dirinya dan merasa senang terhadap pilihan Allah.". Jadi, dari penuturan tersebut, ibadah menurut Imam al-Ghazali adalah kekhusyukan kepada Allah Swt. Saat kita beribadah kepada-Nya, maka tidak boleh ada hal lain yang dipikirkan kecuali hanya Allah Swt.

Yang kelima tentang Tawakkal dan Keikhlasan. Menurut Imam Al-Ghazali inti dari tawakl ialah menyakini bahwa setiap sesuatu sudah ditetapkan ileh Allah SWT. Sedangkan ikhlas menurut Imam Al-Ghazali ialah menjadikan semua perbuatan yang kita lakukan hanya karena Allah SWT., bukan karena yang lain.

Yang keenam tentang Makrifat. Makrifat adalah pengetahuan tentang Allah Swt., nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan perbuatan-Nya. Di kalangan sufi, ada yang mengatakan bahwa makrifat kepada Allah Swt. adalah menegaskan kepada hati bahwa Allah Swt. senantiasa mengawasi. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa makrifat kepada Allah Swt. adalah meninggalkan perencanaan dan pilihan. Dan menurut Imam Al-Ghazali, makrifat adalah maqam tertinggi dalam tasawuf, sehingga orang yang telah makrifat adalah orang yang memperoleh kebenaran hakiki Dan, untuk dapat mencapai makrifat, akal bukanlah sesuatu yang menjadi andalan.

Yang ketujuh tentang Tingkatan Manusia. Dalam ajaran tasawufnya Imam Al-Ghazali membagi manusia menjadi beberapa tingkatan yang didasari pada kecerdasan manusia untuk mencapai tingkat keimanan dan ketakwaan.  Pada tingkat pertama adalah orang awam, orang yang berada pada tingkat ini adalah orang yang mempercayai kabar atau berita yang dibawa oleh orang yang dipercaya. Pada tingkat kedua adalah iman dan orang alim, orang alim adalah orang yang berilmu. Orang pada tingkatan ini tidak lagi hanya menerima kabar atau berita dari orang yang dipercaya, tetapi orang tersebut juga akan menganalisisnya sendiri. Pada tingkat ketiga adalah iman orang arif, keimanan orang arif merupakan keimanan yang tidak hanya berdasarkan cerita atau logika, tetapi juga menyaksikan langsung. Itulah tiga tingkatan manusia menurut Imam Al-ghazali.

Selain dikenal sebagai filsuf dan juga sufi, Imam Al-Ghazali juga dikenal sebagai guru karena ia juga turut menyumbang pemikiran dalam bidang pendidikan. Beberapa pokok pemikirannya telah berkontribusi besar bagi perkembangan pendidikan, khususnya di duinia islam.

Buku “Cinta Itu Indah” memaparkan secara rinci tentang biografi hingga perjalanan serta pencapaian dari Imam AL-Ghazali sebagai seorang filsuf yang dikenal diberbagai kalangan. Dan juga menjelaskan bagaimana pemikiran filsafat Imam Al-Ghazali. Buku ini juga berisi beberapa nasihat dari Imam Al-Ghazali. Ada sedikit daya tarik pada buku ini yaitu pada bagian yang membahas tentang apa itu cinta atau mahabbah menurut pandangan Imam Al-Ghazali yang pastinya berbeda dengan pandangan orang – orang awam.

Untuk susunan bahasa dalam penulisan termasuk yang mudah dipahami, namun ada beberapa pembahasan seputar filsafat yang mungkin susah untuk dipahami bagi pembaca yang tidak begitu memahami tentang filsafat. Dan juga dari kalimat judul yang berbunyi “Cinta itu indah” sebenarnya masih agak kurang tepat untuk buku ini, karena isi pembahasan buku ini hampir didominasi oleh kisah perjalanan Imam Al-Ghazali. Tetapi buku ini sangat bagus bagi orang yang ingin mengetahui perjalanan Imam Al-Ghazali dalam mempelajari ilmu filsafat dan tasawuf hingga ia bisa dikenal oleh kalangan muslim maupun non muslim atas pencapaiannya tersebut.

 

 

 




Posting Komentar

0 Komentar