Riview Buku "Seyyed Hossein Nasr, Penjaga Taman Spiritualitas Islam"

 


 Judul: Seyyed Hossein Nasr, Penjaga Taman Spiritualitas Islam

Nama Penulis: Aan Rukmana

Tahun Terbit: 2013

Penerbit: Dian Rakyat

Jumlah halaman: 110 Halaman

Nomor ISBN: 978-979-078-432-1

Ciri utama ilmu pengetahuan modern adalah teknologi. Ciri utama agama adalah kearifan (bijaksana, cerdik, pandai, dan mengerti) kata-kata itu yang saya dapat dan sangat menggambarkan isi buku ini.

Masa Modern merupakan puncak kejayaan akal, dimana manusia mendewa-dewakan akal mereka, mereka menolak metafiska dan berfikir itu tidak memberikan manfaat sedikitpun. Carapandang tersebut melahirkan perubahan yang sangat radikal, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan pesat, dan teknologi menjadi simbol perwujuan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan manusia itu. Di sisi lain pesatnya ilmu pengetauan menyebabkan manusia modern kini mengalami krisis spiritual.

            Seyyed Hoseein Nasr, seorang filsuf islam yang lahir pada 17 April 1933 M, di Theran, Iran, dari keluarga Ahl al-Bayt yang terpelajar, merasa sangat khawatir dengan kondisi moderen atau zaman sekarang ini, dimana ilmu pengetahuan yang harusnya dijadikan sebagai media pendekatan diri kepada Allah SWT, dan membuktikan kebesaran Nya, justru berbalik menjadi menjauhinya. Padahal dalam tradisi islam, ilmu pengetahuan merupakan media untuk menangkap tanda-tanda kebesaran Allah. Karena ilmu pengetahuan adalah sarana pencarian jejak-jejak ilahi, maka seluruh orientasi dari ilmu pengetahuan berfungsi untuk mendekatkan manusia menuju pusat kebenaran (Nasr, 1980;80)

            Seyyed Hoseein Nasr menjadi sedikit pemikir yang paling lantang menyuarakan perlunya mengembalikan yang sakral dalam ilmu pengetahuan, menurut Nasr, penyebab dari semua krisis yang ada sekarang ini dikarenakan manusia telah menghapus yang sakral dari kamus ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan seharusnya tidak bersifat monolitik, ia tidak berbicara hanya seputar realitas yang dapat dijangkau oleh indera saja, karena masih ada realitas lain yang juga nyata yang dapat dijangkau oleh instrumenloin, yaitu akal dan intuisi. Untuk merealisasikan pandangannya tersebut, Nasr menggali kembali tradisi Islam yang telah mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak hanya inderawi, rasional, namun juga intuitif. Maka lahirlah apa yang disebut dengan "sains sakral" atau "sains Islam."

            Salah satu BAB yang menarik bagi saya, yang mana bab ini membahas tentang sains islam, Istilah "sains Islam" mulai banyak diperbincangkan di kalangan para pemikir Islam pada dasawarsa 1970-an hingga sekitar awal 1990-an (Bagir, 2002: 144). Perbincangan tersebut dipicu oleh kondisi ilmu pengetahuan yang kian tidak menentu dan tidak jelas arahnya, sehingga tujuan mulia dari ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu untuk mensejahterakan kehidupan manusia, berbalik menjadi mesin penghancur yang siap memporak-porandakan seluruh peradaban manusia yang telah berjuta-juta tahun terbentuk. Pada saat itu mulai bermunculan banyak tulisan tentang "sains Islam." Mulai dari yang mendukung digulirkannya wacana "sains Islam" sampai yang menolaknya. Namun demikian, maksud mereka tetap sama, yaitu untuk memberikan solusi cerdas bagi kebuntuan "sains modern."

Beranekaragam perspektif yang ditawarkan oleh para pemikir Islam mengenai wacana "sains Islam." Secara garis besar pandangan mereka dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, adalah kelompok pendukung "sains Islam", dan kedua adalah mereka yang menolak ide tersebut (kelompok instrumentalis).

 

Seyyed Hossein Nasr memiliki pandangan tersendiri mengenai sains islam.

"sains Islam" sering dipahami sebagai "scientia sacra" (sacred science, "ilmu sakral") untuk menunjukkan bahwa seharusnya aspek kearifan jauh lebih penting dalam ilmu pengetahuan daripada aspek teknologi yang menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern.”

            Disisi lain, Pervez Hoodbhoy, seorang doktor di bidang nuklir, adalah salah satu pemikir yang tidak setuju dengan istilah "sains Islam." Baginya upaya islamisasi sains hanyalah pekerjaan yang sia-sia saja karena agenda tersebut hanya akan menjadikan umat Islam tetap tidak dapat mewujudkan cita-citanya, karena yang terpenting bagi umat Islam saat ini adalah memperkuat segenap infrastruktur agar dapat mengadakan berbagai riset untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Terdapat tiga alasan yang dikemukakan Hoodbhoy atas keberatannya tersebut. Pertama, hingga saat ini belum ada satupun yang disebut dengan istilah "sains Islam," meskipun wacana ini telah lama digulirkan. Kedua, seluruh ilmu pengetahuan atau sains yang berkembang di dunia ini tidak ada satupun yang dibangun atas seperangkat kepercayaan. Dan ketiga, sampai saat ini belum terdapat kesepakatan di antara para ilmuwan mengenai "sains Islam". Beranjak dari ketiga alasan di atas, Hoodbhoy pun menolak "sains Islam."

 

“Dalam buku Islam and Science Religious and the Battle for Rationality (1991), Hoodbhoy mempertanyakan eksistensi "sains Islam", Can there be an Islamic science? Demikianlah pertanyaan yang diajukan Hoodbhoy.”

Dibuku ini juga menuliskan pendapat tentang sains islam oleh pemikir islam di Indonesia, Jalaluddin Rahmat tidak secara tegas menyatakan bahwa dirinya membela "sains Islam", namun dapat diketahui dari tulisannya dalam Islam Alternatif pada bagian "Islam dan Ilmu Pengetahuan" (2003), bahwa ia mendukung "sains Islam." Menurutnya, dalam rangka "islamisasi sains" perlu dilakukan dalam beberapa tahap. Mulai dari pemilihan masalah ilmiah, penelitian ilmiah, keputusan ilmiah, sampai penerapan ilmiah (Rakhmat, 2003: 161). Jadi, menurut Kang Jalal (panggilan akrab Jalaluddin Rahmat), bahwa "islamisasi sains" harus meliputi seluruh tahapan tersebut.

Secara tegas mendukung "sains Islam" bahkan ia sedang merancang dengan giat-giatnya upaya kontekstualisasi wacana tersebut dalam bentuk lembaga pendidikan adalah Mulyadhi Kartanegara (1. 1959), seorang filsuf muslim Indonesia. Hingga saat ini, Mulyadhi telah menelorkan beberapa karya penting dalam wacana "sains Islam" seperti, Menyibak Tirai Kejabilan: Pengantar Epistemologialam (2003), Integrasi Ilmu (proses terbit), Psikologi Islam dalam Perspektif (proses penyusunan), Menembus Petala Langit: Pengantar Kosmologi Islam (proses penyusunan) dan masih banyak lagi yang lainnya.

Ada juga pemikir islam Indonesia yang justru tidak mendukung sains islam ini seperti, Fazlur Rahman, seorang pemikir modernis yang memusatkan kajiannya pada al-Qur'an, dalam tulisannya di majalah Arabia pada awal tahun 1986 banyak mengkritik para pemikir "sains Islam" seperti Ziauddin Sardar, al-Faruqi, Nasr dan al-Attas. Menurut Rahman, langkah-langkah islamisasi atau penerapan "sains Islam" mengesankan sifat mekanis, karena seakan-akan dalam menghadapi berbagai ilmu yang datang dari Barat, misalnya, teori Durkheim dan Weber, seseorang akan duduk begitu saja dan mengislamisasikannya, sehingga tidak mengarah pada penciptaan ilmu yang kreatif (Bagir, 2002: 155). Adapun mengenai hakikat ilmu itu sendiri, Rahman menegaskan dalam The American Journal of Islamic Social Science (1988), bahwa ilmu itu sendiri tidaklah buruk tetapi penyalahgunaannya yang buruk. Dari sini dapat diketahui bahwa solusi yang ditawarkanRahman bagi kebuntuan sains modern adalah dengan diterapkannya etika dalam ilmu pengetahuan. Selaras dengan pandangan Rahman ini adalah Harun Nasution (1919-1998) dalam makalahnya "Etika Ilmu Pengetahuan dalam Islam."

Menurut saya Buku “Seyyed Hoseein Nasr” ini sangatlah menarik, dimana kita mengikuti seorang Seyyed Hoseein Nasr ini, bagaimana beliau menjadi pelopor modernisme yang sangat ingin juga rindu dalam menjaga spiritualitas islam dimasa modern ini.

Pemikiran- pemikiran Seyyed Hosein Nasr yang di tuangkan di dalam buku ini juga disampaikan dengan begitu jelas, padat, singkat, dan menarik untuk diikuti, akan tetapi menurut saya buku ini banyak menggunakan bahasa tingkat tinggi yang bagi saya sebagai seorang mahasiswa cukup membingungkan dan sulit memahami maknanya, untuk memahaminya, kita akan butuh buku, referensi lain untuk menterjemahkan beberapa kata atau kalimat itu. Selain beberapa tema yang saya bahas di atas buku ini masi mempunyai berbagai tema penting yang menjadi sorotan juga dalam buku ini, seperti, seputar hakikat akal, kritik atas moderenisasi, tasawuf, sains sakral, tradisi islam, seruan untuk kaum muda dan banyak lagi.

Saya pribadi memberi buku ini nilai 8/10 selain bahasa yang digunakan dalam buku ini terlalu tinggi dan berat, tetapi saya tetap tertarik akan tema yang dibahas dalam buku ini, pemikiran- pemikiran Sayyed Hoseein Nasr tentang menjaga spiritualitas islam dalam kehidupan, akan sangat bermanfaat terutama bagi anak muda sekarang. Kita sebagai anak muda yang akan menggerakkan dunia ini, dunia modern, dunia sekarang, dimana teknologi sudah memasuki setiap sektor kehidupan kita. Dengan membaca buku ini kita akan diingatkan, disadarkan akan hakekat kita di dunia ini, tujuan sebenarnya dari menimba ilmu, agar tidak tersesat dan terlena, menganggap diri kita tinggi sehingga melupakan adat-istiadat islam, kearifan, karena tujuan kita mencari ilmu tidak lain untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, untuk beribadah kepadanya, dan untuk mendapat surga Nya.

 

 




Posting Komentar

0 Komentar