Mengaca pada sejarah sebagai ibrah buat kita. Seorang Abdurrrahman ibn Muljam penghafal al-Qur-an saja bisa terjerumus kepada pemahaman yang salah yaitu khawarij yang berpendapat Ali bin Abi Thalib telah kafir dan akhirnya menyebabkan dia membunuh sahabat dan menantu Rasulillah SAW tersebut. Oleh karena Itulah penting bagi kita untuk harus hati-hati dan selektif dalam memilih ustaz/guru sehingga jangan sampai kita atau anak-anak kita menjadi korban pemahaman agama yang salah.
Dalam kitab al-Muntaqo Syarh Muwaththo’ Malik yang disusun oleh al-Qodhiy Abu al-Walid Sulaiman bin Kholaf al-Bajiy, jua I cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah hal. 71, diriwayatkan:
عن هشيم عن مغيرة عن ابراهيم , قال : كَانُوا إِذَا أَتَوْا الرَّجُلَ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ، نَظَرُوا إِلَى هديه، وَإِلَى سَمْتِهِ، وَ صلاته, ثم أخذوا عنه
“Dari Hasyim, dari Mughirah dari Ibrahmim, dia berkata: Dulu (baca: zaman salaf) jika mendatangi seseorang untuk mereka ambil darinya (ilmunya) , mereka memperhatikan dulu bagaimana akidahnya, bagaimana akhlaknya, bagaimana shalatnya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya”
Pada kitab yang sama di halaman 72 dikisahkan Ibn Abi Uwais berkata: Aku mendengar pamanku Malik bin Anas berkata: Sesungguhnya ilmu ini (agama), maka hendaknya kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Masih terkait hal ini, Imam Malik bin Anas juga menjelaskan sebagaimana dinukil di kitab Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, yang disusun oleh al-Imam al-hafizh Ibn Abd al-Barr, Dar al-kutub al-‘Ilmiyah, hal.308-309:
لاَ يُؤْخَذُ الْعِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُوالناس إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ
“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa’ yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah SAW, (4) Seorang yang memiiki keutamaan dan shalih yang tidak mengetahui apa (haditas) yang dia sampaikan”
KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim pada bab kelima (halaman 55 s.d halaman 70), menjelaskan tentang dua puluh kriteria akhlak yang sepatutnya ada pada seorang ustaz. Hal ini hendaknya juga menjadi tuntunan kita dalam mencari guru/ustaz untuk kita belajar, terutama ilmu agama. Adapun ringkasan dari uraian beliau adalah sebagai berikut:
1) ان يديم مراقبة الله تعالى في السر والعلانية
Senantiasa muraqabah, merasa diawasi dan dilihat Allah SWT, baik ditempat yang sunyi atau ramai.
2) ان يلازم خوفه تغالى في جميع حركاته و سكناته واقواله وافعاله , فانه امين على ما استودع فيه من العلوم والحكمة والخشية, وترك ذلك من الخيانة
Senantiasa memiliki rasa khauf (takut kepada Allah) dalam segala aktivitasnya (gerak atau diam), ucapan dan tindakanya, karena orang yang alim (ustaz) adalah orang yang selalu dapat menjaga amanat, dapat dipercaya terhadap sesuatu yang dititipkan kepadanya, baik itu berupa ilmu, hikmah, dan perasaan takut kepada Allah. Bila tidak demikian maka dia berkhianat.
3) ان يلازم السكينة
Senantiasa bersikap tenang.
Khalifah Umar ibn al-Khattab RA berkata:
تعلموا العلم و تعلموا معه السكينة و الوقار
“Pelajarilah oleh kalian ilmu pengetahuan, dan pelajari juga sikap tenang dan ketundukan.”
4) ان يلازم الورع
Senantiasa bersikap wira’i (berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan) .
Wira’I menurut Ibrahim ibn Adham, adalah meninggalkan setiap perkara subhat sekaligus meninggalkan setiap perkara yang tidak bermanfaat yakni perkara yang sia-sia.
5) ان يلازم التواضع
Selalu bersikap tawadhu’
6) ان يلازم الخشوع لله تعالى
Selalu bersikap khusyu kepada Allah
7) ان يكون تعويله في جميع اموره على الله تعالى
Menjadikan Allah sebagai tempat meminta pertolongan dalam segala keadaan.
8) ان لا يجعل علمه سلما يتوصل به الى الأعراض النيوية من جاه أو مال او سمعة او شهوة او تقدم على اقرانه
Tidak menjadikan ilmunya sebagai sarana/tangga untuk mencapai keuntungan yang bersifat duniawi, baik berupa jabatan, harta, didengar oleh banyak orang,ketenaran, atau keunggulan atas teman-temannya.
9) ان لا يعظم ابناء الدنيا بالمشي اليهم والقيام لهم الا اذا كان في ذلك مصلحة تريد على هذه المفسدة
Tidak memuliakan para penghamba dunia dengan cara berjalan dan berdiri untuk mereka, kecuali bila kemaslahatan yang ditimbulkan lebih besar dari kemafsadahannya.
10) ان يتخلق بالزهد في الدنيا و التقلل منها بقدر الامكان الذي لا يضر بنفسها و بعياله على الوجه المعتدل من القناعة
Memiliki perangai zuhud dan mengambil dunia sekedar cukup yang tidak membahayakan untuk diri dan keluarganya sesuai standar qona’ah
Gambar diambil dari: kantormeme.blogspot.com
0 Komentar