Hakikat Hermeneutika oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.pd, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

Hermeneutika secara etimologis merupakan padanan kata dari bahasa Inggris yaitu hermeneuntic (tanpa ‘s) dan hermeneutics (dengan ‘s). Kata yang pertama dimaksudkan sebagai bentuk adjective (kata sifat) yang apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu ketafsiran, yakni menunjuk pada keadaan atau sifat yang terdapat pada penafsiran. Sementara kata yang kedua hermeneutics berarti kata benda atau noun. Kata ini mengandung tiga makna:[1]

·   

  Ilmu Penafsiran

·       Ilmu untuk mengetahui kata-kata yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis.

·       Penafsiran secara khusus menunjuk kepada penafsiran teks atau kitab suci

Pakar linguistik berkata bahwa hermeneutika berasal dari kata Hermenium (Bahasa Yunani) yang berarti penjelasan, penafsiran, penejemahan. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata Hermes, yang dalam mitologi Yunani merupakan sosok yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa dan bertugas menjelaskan maksudnya kepada manusia.[2]

Secara teologis Hermes juga diidentikkan oleh nabi utusan Tuhan. Sayyed Hosen Nashr memiliki pandangan bahwa Hermes yaitu Nabi Idris yang disebut di dalam al-Quran.[3] Ia lebih dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, tekhnologi tenun, kedokteran, astrologi, dan lain-lain. Menurut riwayat yang beredar di pesantren bahwa Nabi Idris adalah orang yang ahli dibidang pertenunan (tukang tenun). Sedangkan di lingkungan Yahudi Hermes disebut juga dengan Tohth, dalam mitologi Mesir dikenal dengan Nabi Musa As.

Baik Hermes, Nabi Idris, atau Nabi Musa merupakan sosok-sosok penting yang mendapatkan pesan Tuhan yang berbahasa langit, akan tetapi mereka menyampaikan pesan tersebut dalam bahasa bumi kepada manusia. Dalam hal ini ada makna metaforis dari profesi tukang tenun atau pintal ini muncul, yaitu memintal atau merangkai kata Tuhan, agar mudah dimengerti dan mudah dipahami manusia.

Pengasosiasian hermenutika dengan Hermes, Nabi Idris, atau nabi Musa tersebut secara sekilas menunjukkan adanya adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran, yaitu:[4]

1.     Tanda, pesan, atau teks yang menjadi sumber atau bahan penafsiran yang diasosiasikan oleh Hermes, Nabi Idris, atau Nabi Musa

2.     Perantara atau penafsir

3.     Penyampai pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada manusia

Ketiga unsur tersebut merupakan unsur-unsur  pemaknaan teks melalui semiotik dan semantik. Semiotik, ilmu tentang tantang tanda, bersifat formal sampai batas dissosiasi bahasa ke dalam bagian-bagian pokoknya. Semantik, ilmu tentang kalimat, langsung fokus dengan konsep makna  (yang dalam tahapan ini sinonim dengan meaning (makna), sebelum dijelaskan berikut perbedaan antara makna dan referensi), ke dalam batasan bahwa secara fundamental dipahami oleh prosedur integratif bahasa.[5]

Di dunia Barat (Kristen), harmeneutika digunakan pertama kali di kalangan sebagian cendikiawan Kristen Protestan sekitar tahun 1645 M. Mereka itu adalah yang tidak puas dengan penafsiran gereja terhadap teks Perjanjian Lama dan Baru. Tidak heran jika The New Encylopedia Britannica menjelaskan bahwa hermeneutika adalah the study of the general principle of Biblical interpretation to discover the truths and values of the bible (Study prinsip-prinsip umum tentang penafsiran Bibel untuk mencari kebenaran dan nilai-nilai kebenaran Bibel).[6]

Menurut para Ahli, Kristen mengadopsi Hermeneutika untuk mereka jadikan alat atau seni interpretasi karena para tokoh dan cendikia Kristen hampir sepakat bahwa Bibel secara harfiahnya bukan kalam Tuhan. Itu dibuktikan antara lain dengan adanya perbedaan pengarang yang secara otomatis melahirkan gaya yang berbeda-beda, bahkan informasi yang bertolak belakang.

Pendapat di atas memunculkan perspektif bahwa hermeneutika diperuntukan bagi Bible. Sehingga muncul perumusan pemaknaan pada teks kitab suci tersebut menekankan pada tujuan penulis teks, ada juga yang pada pemahaman penakwil/ peneliti teks, ada lagi yang menyatakan adanya makna tertentu dan final bagi sebuah teks, sementara yang lain membuka pintu pemahaman bagi masing-masing tanpa akhir, dengan alasan perbedaan latar belakang, dan keanekaragaman situasi masing-masing penakwil teks.

Di dalam bahasa Arab Hermeneutika dimaknai dengan Ilm al-Takwil atau al-Takwiliyah dan ada juga yang langsung menamainya dengan ilmu tafsir karena menelaah teks agar menemukan maksud teks yang diteliti.[7] Agaknya penamaannya lebih tepat al-takwil atau al-takwiliyah sebab titik beratnya yaitu pengalihan makna satu kata/ susunan ke makna lain yang lebih tepat menurut sang penakwil.

Adapun priodeisasi Hermeunitika ditijau dari sejarahnya. Priode tersebut terdiri dari empat aliran Hermeneutika:

            Pertama, aliran konvensional/klasik yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834 M) dan Wilhelm Diltheiy (1833-1911M). Pandangan Friedrich Schleiermacher (1768-1834 M) mencetuskan Hermeneutik Teoritik. Menurutnya, penafsiran adalah memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan pengarangnya. Makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan penafsiran dan pandangannya, melainkan diturunkannya dari teks dan bersifat instruktif.[8]

Pandangan Friedrich Schleiermacher bersifat konstruktif, yaitu melihat dari kedua sisi, baik teks yang diteliti dan kompetensi peneliti. Sehingga pengalaman dan pengetahuan peneliti mengakomodir dalam pemaknaan teks yang diteliti.  Titik berat lainnya, kondisi dan tujuan peneliti teks tersebut, mau dibawa ke arah mana dalam penelitian teks tersebut. Untuk itu perasaan, niat, dan keinginan peneliti akan tertuang dalam pemaknaan teks tersebut.

            Perspektif Wilhelm Diltheiy banyak dipengaruhi oleh Friedrich Schleiermacher. Tokoh ini dianggap tokoh kedua dalam era hermeneutika romansis dan mempengaruhi juga tokoh-tokoh sesudahnya. Kehidupannya pada abad ke-19 M terjadi perkembangan pesat menyangkut filsafat ilmu dan dasar-dasarnya, khususnya pengaruh dari Imanuel Kant (1724-1804M) dengan ide-ide metafisika dan pandangan-pandangan yang filosofis.

            Wilhelm Diltheiy menekankankan bahwa pemahaman teks sangat bergantung pada antara tiga pihak yang saling berkait satu sama lain. Pihak-pihak tersebut antara lain, pertama, teks yang fungsinya sebagai kesimpulan pengalaman hidup dan wadah nilai-nilai kehidupan. Kedua, wawasan penafsir yang harus terbuka terhadap aneka pengalaman pengucap/ penulis teks. Ketiga, hubungan erat antara kedua hal di atas, hubungan yang menjadikan sang penafsir diperkaya pengalaman dan pemahamannya serta diperluas wawasannya sehingga pada akhirnya ia mampu untuk memperkaya pengertian teks dan melahirkan makna-makna baru yang bisa jadi pemahaman penafsir ketika itu lebih baik dari pemahaman pengarang teks.[9]

            Pengejawantahan hermeneutika Wilhelm Diltheiy mempunyai sisi yang berbeda dengan Friedrich Schleiermacher. Pasalnya Diltheiy menganggap penafsir bisa mengeskplore dalam memaknai dan memahami teks. Pada akhirnya, si penafsir bisa mengungguli pengarang teks di dalam menafsirkannya. Hal tersebut akan memunculkan makna baru dalam teks tersebut.

            Kedua, aliran hermeneutika filosofis adalah hal-hal yang berkaitan dengan hakikat pemahaman dan kondisi penemuannya tanpa membahas metode tentang makna pemahaman. Pada aliran ini mempelajari hakikat hal yang hal mengerti/ memahami sesuatu. Sesuatu yang dimaksudkan itu adalah teks, naskah-naskah kuno, kitab-kitab suci, yang kesemuanya merupakan objek kesahihan metode historis dan dogmatic tidak bersifat mutlak. Justru hal ini menimbulkan persoalan yaitu dalam hal apakah sudut pandang hermeneutika itu sendiri memiliki kesahihan historis dan dogmatik.[10]

            Ada dua tokoh popular dari teori hermeneutik filosofis yaitu Martin Heidegger (1889-1976 M) dan Hans Georg Gadamer (1900-2002M). Heidegger berpendapat bahwa teks atau karya seni memiliki wujud tersendiri terlepas dari penciptanya. Karena itu tidaklah penting mengetahui tujuan sang pencipta/pengucap/ penulis tidak juga mitra bicara yang dihadapinya pada masa terciptanya karya atau teks itu. Akan tetapi yang terpenting pembacaan dan pemahaman penafsir sesuai dengan pengetahuan mendahului kandungan teks serta dugaan atau prediksi dan pertanyaan-pertanyaan mereka terhadap teks saat mereka berdialog dan membahas dengannya.[11]

            Pendapat di atas memunculkan satu perspektif bahwasannya penekanan terhadap pengetahuan penafsir lebih diutamakan. Berarti seorang penafsir tidak memasuki proses penafsiran dengan pikiran yang kosong atau hampa dari segala sesuatu, pasti sebelumnya sudah ada pemahaman awal yang bisa jadi benar atau salah.

            Hans Georg Gadamer , seorang filsuf asal Jerman berusaha menjelaskan, meneruskan, dan mengembangkan pendapat-pendaat gurunya Heidegger. Autokritiknya terhadap pendapat hermeneutika teoritik yang digagas oleh Schleirmacher dan Wilhelm Diltheiy. Hermeneutika Gadamer melampaui batas metode dalam proses pemahaman. Dalam konteks ini, Gadamer menekankan perbedaan antara kekuatan substansi yang dikandung oleh pemahaman dengan tehnik khusus  yang diduga oleh Wilhelm Dilthey sebagai metode memahami ilmu-lmu sosial, temasuk  yang berkaitan dengan bidang spiritual atau keagamaan.[12]

            Ketiga, Hermeneutika kritis merupakan interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh kepentingan sosial (sosial interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter. Secara metodelogis, teori ini dibangun atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan terdapat bias atau unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, seperti bisa strata kelas, suku, dan gender dengan kata lain, metode ini mempunyai konsekuensi curiga dan waspada (kritis) terhadap bentuk tafsir, seperti jargonjargon yang dipakai dalam sains dan agama. Sehingga hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks.[13]

            Teori kritis adalah kaitan antara pengetahuan dan kepentigan manusia. Menurut Habermas (1929)kepentingan yang berada di balik setiap sistem pengetahuan pada umumnya tak dikenal oleh masyarakat awam dan inilah tugas teori kritis untuk mengungkapnya. Habermas sendiri membedakan tiga sistem pengetahuan dan kepentingnnya yang saling berkaitan. Tipe pertama adalah ilmu empirik-analitik atau sintifik positivik klasik. Menurut Habermas, kepentingan dari ilmu pengetahuan jenis ini adalah kontrol teknis yang dapat diaplikasikan untuk lingkungan, masyarakat, atau orang. Ilmu analitis sendiri cenderung memperkuat kontrol opresif. Tipe kedua adalah pengetahuan humanistik atau pengetahuan historis-hermeneutis dan kepentingannya adalah kepentingan praktis interaktif untuk memahami dunia, diri dan orang lain. Ketiga, pengetahuan kritis dan kepentingannya adalah emansipasi manusia.[14]

            Relasi sosial dalam melihat teks pada hermeneutika kritik ini lebih terasa. Kondisi tersebut sebagai perwujudan dari manusia sebagai mahluk sosial yang melihat antara idealitas teks terhadap realitas yang terjadi. Dengan kata lain penafsiran teks sebagai kontrol sosial bagi peristiwa politik, ekonomi, sosial dan budaya pada lingkungan. Terkadang pada teori ini masih ditemukan subjektifitas penafsir dalam tafsirannya.

            Keempat, Aliran Ekstrem, menekankan bahwa kendati ada kesungguhan dan keluasan wawasan penakwil, namun sangat diragukan ia dapat mencapai makna asal dari teks untuk diamalkan, karena semua penafsiran bersifat kemunginan dan relatif.[15]



[1] Fakhrudin Faiz, Hermeneutika Qurani, Jogjakarta: Qalam, 2002, h. 20-21

[2] Komaruddin, Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 30

[3] Sayyed Hosen Nashr, Knowledge and The Scared, USA: State University Press,  1989, h.71

[4] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental (Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies), Yogyakarta: IRciSod, 2003, h. 14-15

[5] Paul Ricoeur, Teori Interpretasi (Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya), Jogjakarta: IRciSod, 2012,

[6] Quraish Syihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 404

[7] Quraish Syihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 402

[9] Quraish Syihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 415

[10] Quraish Syihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 416

[11] Quraish Syihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 418

[12] Quraish Syihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2013, h. 420

[13] Jalaluddin Rakhmat, Hermeneutika Sosial, Terj. Muhammad Syukri, Kreasi Wacana, Yogyakarta : 2006. H. 108

[14] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam (Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang ), (Yoogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 42-43

[15] Jalaluddin Rakhmat, Hermeneutika Sosial, Terj. Muhammad Syukri, Kreasi Wacana, Yogyakarta : 2006. H. 111

 Gambar diambil dari: qureta.com





Posting Komentar

0 Komentar