- Ibnu Battuta, pelawat muslim
asal Maroko, sedang berlayar ke arah barat dari Tiongkok. Sementara itu,
Maut Hitam, malapetaka pandemik terbesar sejak abad ke-6, menempuh
perjalanannya melintasi padang rumput Asia Tengah ke pantai-pantai Laut
Hitam.Wabah itu menyerang kota-kota besar dan kecil Islam dengan
mengejutkan bagai serangan Mongol. Wilayah-wilayah pedalaman di Eropa,
Afrika Utara, Timur Tengah, Paris dan Bourdeaux, Barcelona dan Balencia,
Tunis dan Kairo, Damaskus dan Aleppo, menderita kematian besar-besaran
akibat wabah itu. Orang-orang pun menghentikan kebiasaan sehari-hari.
Mereka lebih memilih salat dan berdoa. Kebanyakan muslim menerima wabah
itu sebagai rencana Tuhan yang tak diketahui ciptaan-Nya. Masjid-masjid
ditutup. Khususnya saat para petugas dan anggota pengurusnya menjadi
korban. “Wabah pandemi adalah sejarah kelam yang berulang,” kata Oman
Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus
staf ahli menteri agama, dalam seminar daring lewat aplikasi zoom bertema “Wabah dalam Lintasan
Sejarah Umat Manusia”, yang diselenggarakan Museum Nasional pada Selasa,
21 April 2020
Wabah penyakit berikutnya
secara beruntun menyerang negeri-negeri Islam. Pada era Nabi Muhammad Saw. ada
wabah Shirawayh. Wabah pertama pada
awal sejarah Islam ini terjadi di Al-Mada’in (Ctesiphon), pusat pemerintahan
Persia, pada 627–628 M.
Wabah berikutnya adalah Amwas. Wabah Amwas mungkin menyerang dua kali pada Muharram dan Safar. Wabah ini
menelan korban jiwa 25.000 tentara muslim, yang meluas ke seluruh Suriah, Irak,
dan Mesir.
Wabah Al-Jarif (688–689) dan Al-Fatayat
(706) menyerang Basrah, kota terbesar kedua di Irak. Wabah Al-Jarif menelan korban jiwa dalam tiga hari berturut-turut
sebanyak 70.000, 71.000, dan 73.000 orang.
Ross E. Dunn menyebut bahwa doktrin Kristiani mengundang kesimpulan
bahwa dosa manusia telah bertumpuk sampai titik di mana Tuhan memberikan
pelajaran. Banyak yang percaya wabah ini, Maut Hitam, adalah pelajaran Tuhan
yang terakhir. Dengan kata lain mereka percaya saat itulah akhir dunia.
“Menghasilkan keasyikan obsesif dengan bayang kematian, gerakan penyiksaan diri
untuk menebus dosa, pembunuhan massal orang Yahudi, sebagai sasaran tradisional
permusuhan dan rasa takut,” jelas Dunn.
Ketiga, ulama yang memakai
penjelasan magis tradisional. Dengan interpretasi ini, lahirlah pengobatan
tradisional. Interpretasi itu berdasarkan penyebutan wabah penyakit dalam
bahasa Arab, yakni tha’un, yang arti
harfiahnya adalah jin. Ada beberapa hadis yang menyebut bahwa wabah penyakit (tha’un) tak akan bisa memasuki Madinah.
Sampai abad ke-14 Madinah memang tak tersentuh wabah, sedangkan Makkah
terjangkit. “Tapi sekarang kita tahu
di Madinah juga ada yang positif (Covid-19, red.),
jadi ini perlunya reinterpretasi teks keagamaan,” kata Oman. “Apa berarti hadis
Nabi keliru? Saya percaya tidak, yang belum sampai itu penafsiran kita.”
Gambar diambil dari: tokopedia.com
0 Komentar