Adab-adab Berhaji Perspektif Sufi oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si ( Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ)

         


     Haji, merupakan rukun Islam yang kelima. Rukun tersebut menjadi penyempurna ibadah umat muslim. Namun ibadah tersebut hanya dilakukan pada muslim yang mampu saja. Hal tersebut disebabkan karena faktor jarak, kemampuan fisik, dan kemampuan finansial yang harus dijalani dan dipenuhi. Namun, berapa banyak umat muslim yang pergi Haji hanya bermodalkan niat, usaha yang maksimal, dan doa. Lalu Allah mengizinkan orang tersebut untuk menunaikan ibadah yang menyempurnakan keislamannya.

            Di sisi lain haji, juga menjadi ibadah yang tinggi pahalanya di sisi Allah Swt. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk menunaikan haji dan umrah namun ia meninggal sebelum menunaikannya maka Allah akan memberikan pahala haji dan umrah kepadanya di hari kiamat. (HR. Abu Ya’la di dalam Musnadnya (2/370))

            Kata Haji disyarahkan oleh Syaikh Ahmad bin I’mad al-Aqfihasi, beliau menyatakan bahwa kata haji terdiri dari dua kata yaitu ha dan jim. Ha yang mewakili hilmun yang berarti kelembutan. Sedangkan kata jim yang mewakili kata jarmun yang berarti sampan atau diri. Syaikh Ahmad al-Aqfihasi memaknai kata haji tersebut, “Wahai Tuhanku, aku datang kepada-Mu melalui sampanku (kemampuannku) dimana dosaku yang hanya kau bisa ampuni melalui kelembutanMu.” (Kitab Thabaqat al-Syafiiyah:16)

            Melalui pernyataan Syekh Ahmad al-Aqfahsi bisa diambil pandangan bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang harus siap secara lahir dan bathin dalam meraih ampunan Allah Swt atas dosa-dosa yang melekat pada jiwa. Sehingga haji yang demikian akan mendapat nilai haji mabrur di sisi Allah Swt. Dimana haji yang mabrur kelak akan meraih syurga dari-Nya. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad, “Ibadah Umrah ke umrah lainnya akan dihapuskan dosa diantara keduanya, dan haji yang mabrur bukanlah untuknya pahala kecuali syurga untuknya.”(HR.Bukhari no.1683)

Ukuran haji mabrur memang abstrak di mata manusia. Namun pangkat tersebut hanya Allah yang bisa sematkan. Untuk itu ketika seorang yang berhaji harus ingat Allah secara terus menerus mulai dari perjalanan hingga selesainya ragkaian ibadah tersebut. Sebagaimana Imam Ghazali di majelisnya berkata, “Allah menjadikan perjalanan haji seperti perjalanan ke akhirat. Maka seyogyanya kamu menghadirkan nama Allah pada setiap satu perbuatan ke perbuatan lainnya dalam rangka menjalankan satu urusan dari urusan-urusan akhirat.”

Maka dari itu orang-orang yang berhaji harus memperhatikan adab-adab selama perjalanan ke tanah haram tersebut. Sebagaimana Imam Ghazali juga menyatakan bahwa ada adab-adab yang harus diperhatikan selama perjalanan bagi orang yang berhaji yaitu ia telah menyiapkan nafkah bagi keluarganya selama menunaikan haji, berbuat baik di kendaraan menuju tanah suci, berbuat baik bagi sesama orang yang berhaji, menunjukkan akhlak yang baik, memperbaiki ucapan, menyedikitkan becanda, meninggalkan hal-hal yang berbau maksiat, bertindak bijak, selalu bahagia atas apa yang dilihatnya, menyedikitkan untuk berbicara, serta tidak berdebat. (Imam Ghazali:2013:107)

            Selain itu, Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata, “Seyogyanya bagi orang yang berhaji jika dia sampai ke tanah yang di haramkan Allah yaitu Mekkah al-Musyarafah (semoga Allah menambah kemuliaannya), maka ia penuhi hatinya untuk terus memuliakan dan meninggikan nama-Nya. Selain itu ia bisa menyempurnakan apa-apa yang mampu ia lakukan dari kelezatan bersama Allah, kerendahan diri terhadap-Nya, ketaatan bersama-Nya, kekhusuan dengan-Nya, dan pembiasaan bersama-Nya.”(Imam Haddad:2013:166)

            Perkataan Imam Haddad bisa diambil satu perspektif bahwa orang yang berumrah atau berhaji harus suci. Sebab mereka mengunjungi tanah yang suci. Kesucian tersebut terlihat dari niat, perkataan, perbuatan, dan tindakan. Apalagi di tanah tersebut terdapat Ka’bah atau Baitullah. Sebagaimana Imam Muhammad Jamal al-Din berkata, “Allah menciptakan Ka’bah sebagai tempat yang aman bagi diri manusia. Allah memuliakannya (Ka’bah) dengan menisbatkan pada dirinya syarifah yaitu tempat yang dikaruniai dan terjaga. Selain itu Allah menjadikan tempat tersebut untuk diziarahi dan thawaf sebagai penghalang antara hamba-Nya dan azab-Nya.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt menurunkan seratus dua puluh rahmat di Ka’bah: enam puluh rahmat turun pada orang yang sedang thawaf, empat puluh rahmat turun pada orang yang shalat di sekitar Ka’bah, dan dua puluh rahmat turun pada orang yang memandangnya.” (HR. Ibn Abbas)

 

           

           

 

           

           

           

           

           




Posting Komentar

0 Komentar