Riview Buku "Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian"

Judul               : Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian
Penulis            : KH. Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama
Penyunting      : The Wahid Institute & Soka Gakkai Indonesia
Tebal   : xxvii + 310 halaman

ISBN               : 978-979-22-6432-6

Tahun              : 2010

 

Membaca buku setebal 310 halaman ini, akan membawa kesimpulan pada pembacanya bahwa kedua tokoh ini memiliki pemahaman dan wawasan yang amat luas. Tak hanya menyangkut kebudayaan Jepang-Indonesia, asal negara keduanya, tapi juga negara-negara di dunia. Di buku itu mereka membicarakan hal yang mungkin dianggap remeh temeh hingga perkara besar seperti wacana membangun peradaban dan perdamaian dunia.

1.     Dialog Menuju Perdamaian Abadi

Dialog antar peradaban sesungguhnya adalah dialog konkret antara dua manusia dengan latar sosial, budaya, spiritual yang berbeda. Daisaku Ikeda dan KH Abdurrahman Wahid adalah dua tokoh agama bereputasi dunia. Daisaki Ikeda adalah Presiden Soka Gakkai Internasional yang gigih mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dari Buddhism eke seluruh dunia. KH Abdurrahman Wahid adalah presiden Indonesia ke-4 dan sekaligus mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (Organisasi muslim terbesar di Indonesia). Beliau dikenal di dunia internasional sebagai intelektual muslim berhaluan moderat dan terus mempromosikan dialog antaragama untuk perdamaian.

2.     Persahabatan sebagai Jembatan Dunia

Sebagai pembaca saya terheran-heran ketika mereka membicarakan mengenai bunga dan kembang yang tumbuh di Jepang dan Indonesa. Dari bunga mereka bicara filosofi di baliknya. Kata Daisaku, "Indonesia memiliki banyak jenis bunga seperti kembang sepatu, bougenvil, katleya, wijayakusuma dan raflesia".  Gus Dur menimpali, "Di Indonesia bunga flamboyan adalah bunga yang dijadikan sebagai tanda akan menjelang masuknya musim hujan. Saat flamboyan berwarna merah berkembang adalah puncak hari-hari paling yang panas. Saat bunganya berguguran dan tersisa daun-daun berarti mulai masuk musim hujan. Kalau di Jepang, saat bunga sakura berkembang menandakan akan datangnya musim semi, bukan?"

Ikeda menimpali lagi. "Bunga Sakura adalah bunga kenegeraan Jepang. Bunga kenegaraan Indonesia adalah bunga melati, bukan?" Kepada Ikeda, Gus Dur juga menceritakan sejak kecil ia amat menyukai bunga melati. Seperti sering ia dengar, bunga itu bunganya para wali.

Setelah bicara bunga, keduanya lantas bicara musik. Ternyata keduanya punya kesamaan hobi: sama-sama menyukai karya Beethoven Simfoni No. 9 yang dianggap mencerminkan kehidupan penciptanya yang penuh perubahan dan perjuangan keras.

Sebelumnya, seperti disinggung Dewa S. Brata dalam sambutan, melalui pembicaraan Beethoven itu Gus Dur mengungkapkan sesuatu yang ironi tapi penuh makna. Ikeda bertanya pada Gus Dur, "Apakah Gus Dur pernah memendam rasa kecewa dan kesal karena dikhianati?". Dengan santai Gus Dur menjawab. "Terlalu sering dikhianati sehingga tidak merasakannya sebagai tantangan. Nanti akan ada hikmah dari tiap kali terjadinya pengkhianatan itu. Saat saya mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden bulan Juli 2001, saya berjanji akan bekerja untuk demokrasi yang lebih baik. Saat itu saya juga tidak menyesal. Satu-satunya hal yang menyedihkan bagi saya adalah kehilangan beberapa pita kaset musik Ludwig van Beethoven yang secara khusus telah saya koleksi." Gus Dur tertawa. Saat Dewa S. Brata menceritakan itu kembali di sambutannya, sebagian besar peserta tertawa diiringi tempik sorak.

3.     Perjuangan dan Pencarian di Masa Remaja

Pada dialog ini Gus Dur bercerita ketika beliau tinggal di pedesaan yang berlimpah alam yang indah, seperti ini kata Gus Dur “Pada masa kecil saya suka sekali berenang di sungai yang ada di depan pesantren. Sepulang sekolah, saya langsung bersama dengan kawan-kawan suka berenang sambil bermain. Disebelah selatan desa juga ada sebuah bukit tempat saya bermain, panggilannya Tunggurono yang berarti penjaga hutan. Pada jaman kerajaan Majapahit, bukit Tunggurono itu menjadi tempat para Pangeran Majapahit mengintai datangnya serangan muduh dari daerah Madiun, Kediri, dan sebagainya. Saya juga suka permainan Obak (petak umpet). Juga suka membonceng lori, kereta kecil untuk mengangkut tebu ke pabrik gula, karena kami hidup di lingkungan kebun tebu.” Lalu Ikeda menimpali “Di negeri yang beralam indah, yang pedesaannya diberkahi hasil pertanian dan buah-buahan yang kaya tersebut, Bapak Wahid telah dibesarkan dan tumbuh dewasa dengan penuh kelegaan dan kebebasan, ya. Jika bicara mengenai lori, ada sebuah karya sastra yang ditulis oleh pengarang terkemuka Jepang, Ryunosuke Akutagawa, yang judulnya Torokko (Lori). Dari karya tersebut diekspresikan perasaan gembira karena dapat naik lori yang diidam-idamkan pada masa kecil, serta mengekspresikan rasa kekhawatiran yang muncul karena telah pergi dengan lori tersebut ke tempat yang begitu jauh. Dulu di Jepang juga orang-orang sering kali dapat melihat lori. Bagaimana masa kanak-kanak Bapak Wahid dulu?” dan Gus Dur pun menjawab “Pada masa kecil, saya sering berkelahi. (tertawa) Pada saat berbicara dengan teman dan mengetahui adanya hal-hal yang tidak benar atau merasakan adanya kejanggalan, meskipun kecil, saya berdebat sampai tuntas. Jadi, tidak usah kaget jika sekarang saya berdebat dan suka menentang tanpa sungkan-sungkan jika ada hal-hal yang tidak benar.” An Ikeda hanya menimpali “Saya mengerti betul. (tertawa) Itu adalah hal yang benar. Siapa pun orangnya, jika sebuah hal harus disampaikan, maka pastikan untuk menyampaikannya dengan berani. Karena hal itu merupakan hak istimewa yang dimiliki generasi muda, sekaligus sebuah jalan untuk menempa keyakinan yang tak tergoyahkan. Pada saat mendirikan Sekolah Soka, saya menuangkan perkataan pada salah satu materi dari semboyan sekolah yang berbunyi, “Sampaikan keyakinan dirimu dengan bangga dan laksanakan dengan keberanian demi menegakkan kebenaran.” Sekarang Sekolah Soka itu telah menjadi terkenal mewakili Jepang dalam hal perdebatan.” Dan Gus Dur menimpali dengan apresiasi “Itu hal yang bagus sekali.”

4.     Tantangan Menuju Abad Hak Azasi manusia

Dalam dialog ini Ikeda mengatakan “Sekarang saya ingin mengalihkan pembicaraan. Bapak Wahid telah banyak dan lama bergelut di dunia pers, katanya hal ini merupakan impian Bapak Wahid sejak masa kanak-kanak, ya.” Dan Gus Dur pun menjawab “Ya, betul. Sebagai seorang jurnalis saya menyumbang artikel pada surat kabar atau majalah secara berkala selama ini. Sebenarnya sejak kecil, saya memiliki tiga cita-cita. Semasa kecil, saya ingin menjadi seorang pilot, dokter, dan penulis di koran- koran. Ternyata satu-satunya cita-cita yang terwujud adalah yang ketiga. Hidup sebagai penulis. Saya menjadi kolumnis majalah TEMPO dan surat kabar harian KOMPAS sejak awal tahun 1970-an. Saya yang kala itu be- rusia 30 tahunan mulai menyumbang artikel kolom berseri ten- tang masalah yang dihadapi masyarakat saat itu. Melalui artikel berseri tersebut, saya terus menyoroti peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat dengan menyelusuri masalah sebelumnya tentang keagaaman, dan mempertegas arti pentingnya plura- lisme, jiwa toleransi agama, dan membela hak-hak minoritas”. Ikeda menimpali lagi “Pesan yang disampaikan Bapak Wahid adalah pusaka yang berharga, tidak hanya bagi Indonesia saja, tetapi juga bagi Asia dan dunia. Tulisan adalah perjuangan. Dari pengalaman pribadi, saya dapat merasakan demikian”. Dan Gus Dur pun menimpali “Saya mengetahui dengan baik bahwa Bapak Ikeda sudah lama menulis dan mengarang sebuah novel berseri sampai sekarang”. Setelah itu Ikeda pun menimpali “Impian masa kanak-kanak saya adalah suatu saat nanti saya ingin meninggalkan karya tulis yang dapat memberikan sentuhan hati kepada orang banyak. Pada saat menulis artikel atau kolom, hal apa saja yang diperhatikan Bapak Wahid?” dan Gus Dur menjawab “Saat menulis untuk koran, saya tidak mempunyai aturan yang pasti. Namun ada suatu hal yang saya camkan, yakni “Yang terpenting adalah harus bersifat perlawanan terhadap hal-hal yang menindas rakyat.” Dan Ikeda memberi jawabab “Saya terharu mendengar itu. Indonesia di masa sekarang ini tampak memiliki kegemerlapan prinsip keyakinan dalam memerangi ketidakbenaran. Hal ini tampak terutama pada Bapak Wahid sendiri”.

5.     Persahabatan Antarbudaya sebagai Sumber Kreativitas

Pada dialog ini Ikeda bertanya “Saya ingin bertanya kepada Bapak Wahid. Bila ditinjau dari segi sejarah, apakah yang menjadi faktor penyebab begitu banyaknya orang-orang Indonesia menerima Islam sebagai agama, dan apa yang menyebabkan Islam begitu tersebarluas dan diyakini di negara Bapak?”. Gus Dur pun menjawab “Ada banyak. Tapi menurut saya, faktor utama adalah jiwa persamaan dan toleransi yang diajarkan Islam. Hal itu sesuai dengan jiwa tradisi negara kami yang menghargai keanekaragaman. Islam mengajarkan pada hakekatnya manusia tidak ada ting- katan, tidak ada bedanya. Tidak ada yang di atas atau tidak ada yang di bawah. Semuanya itu adalah ‘Hamba Allah’. Selain itu, dalam al-Quran diajarkan lakum dînukum wali- yadîn, “Bagi kalian agama kalian, bagiku agamaku.” (QS. Al Kafirun [109] ayat 6) Nabi Muhammad adalah sosok yang menghargai berbagai pendapat. Karena ajaran itulah saya bisa berinteraksi dengan orang- orang dari berbagai latar belakang agama maupun pemikiran. Akhir-akhir ini saya hampir setiap hari berkumpul dan berdialog dengan tokoh agama Konghucu21 dan seorang tokoh Protestan.” Dan Ikeda menimpali “Saya mendengar bahwa sejak kemerdekaan negara Bapak, agama selain Islam, seperti Buddha, Hindu, Katolik, dan Protestan telah diakui sebagai agama resmi pemerintah Indonesia. Akhir-akhir ini agama Konghucu juga demikian. Saya menge- tahui sejak sebelum munculnya kecenderungan tersebut, Bapak Wahid terus menyatakan dengan tegas dan bersungguh-sungguh mengupayakan pengukuhan resmi agama Konghucu, karena Bapak menghormati pemikiran dan agama yang minoritas. Dalam Buddhisme pun persamaan dan toleransi merupa- kan wujud pemikiran utama. Buddha Sakyamuni mengajarkan bahwa manusia tidak menjadi Brahmana atas dasar asal usul kelahirannya, tetapi perilaku yang diperbuat orang tersebut. Ia menjelaskan demikian untuk menekankan bahwa nilai manusia yang sebenarnya tidak ditentukan faktor lahiriahnya, seperti sil- silah keturunan serta wujud kelahiran, tetapi ditentukan berda- sarkan kejiwaan bathiniah, atau apa yang disebut sebagai tingkat keimanannya pada ajaran agama. Selain itu, Buddhisme memiliki prinsip yang disebut sebagai prinsip “Bunga sakura, plum, persik, dan aprikot (Oubai Touri)”. Prinsip ini memiliki makna bahwa masing-masing jenis bunga berkembang secara optimal, seperti bunga sakura berbunga se- bagai bunga sakura, bunga plum tetap berbunga sebagai bunga plum, bunga persik berbunga sebagai bunga persik, dan juga bunga aprikot berbunga sebagai bunga aprikot. Namun, kehar- monisan antara bunga yang berbeda itu tetap terjaga. Begitu juga halnya dengan Buddhisme yang berorientasi pada dunia keragaman, di mana setiap manusia menunjukkan karakter yang dimilikinya secara optimal, tetapi setiap manusia menanamkan akar yang sama di muka bumi yang disebut sebagai penghormatan jiwa dan kemanusiaan.” Dan Gus Dur hanya menjawab “Prinsip bunga sakura, plum, persik, dan aprikot ini sangat menarik perhatian saya”

Buku ini memuat dialog Gus Dur dan Daisaku Ikeda yang diadakan dalam berbagai sesi yang telah ditata dengan rapi dan diklasifikasikan dalam bab-bab penting yang menarik untuk dibaca. Kedua tokoh menyuarakan ajaran-ajaran luhur tentang perdamaian, toleransi, dan hak asasi manusia. Masalah yang saat ini semakin penting kita perjuangkan. Kebudayaan adalah jalan utama menuju peradaban. Peradaban membuat manusia mencintai kehidupan dan menjaga perdamaian. Jalan politik dan ekonomi sudah terlalu pengap dan memberatkan. Hal itu terungkap dalam buku Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian terbitan Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Soka Gakkai Indonesia dan The Wahid Institute.

Buku ini terdiri dari delapan bab: Perdamaian Merupakan Misi Agama, Persahabatan sebagai Jembatan Dunia, Perjuangan dan Pencarian di Masa Remaja, Tantangan Menuju Abad Hak Azasi manusia, Persahabatan Antarbudaya sebagai Sumber Kreativitas, Belajar Toleransi dari Sejarah Islam dan Buddha, Pendidikan Pilar Emas Masa Depan, dan Membuka Zaman Baru. Diberi kata sambutan empat tokoh: Jusuf Kalla, Menteri Pendidikan Mohammad Nuh, Gumilar Rusliwa Somantri, dan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj.

Dialog yang ada di buku ini sendiri sebetulnya merupakan seri dialog yang diterbitkan sejak 2009 secara berseri di majalah Ushio, majalah bulanan Jepang bertiras 400 ribu eksemplar. Sejak September 2010 dialog itu lalu diterbitkan dalam bahasa Jepang dan telah terjual lebih dari 200 ribu eksemplar (AMDJ).


            Buku terbitan Gramedia ini sangat menginspirasi semua orang yang membaca, dialog antar 2 tokoh besar menemukan kesamaan untuk menuju perdamaian abadi, dimana di dalamnya memuat pengajaran besar tentang toleransi dalam bermasyarakat, dan juga sudah di klasifikasi bab-bab penting yang menarik untuk dibaca, buku ini dapat dijadikan rujukan yang baik agar tidak terjadinya kekacauan di negeri  ini.


            Menurut saya buku ini tidak banyak memiliki kekurangan, hanya saja cover dalam buku ini kurang menarik perhatian para pembaca.

Dialog dalam buku ini tak lain demi menciptakan toleransi dan perdamaian dunia. Karena, dialog antara kedua tokoh ini memberikan banyak perspektif baru tentang aspek-aspek commonality di antara kedua agama yang sangat penting dalam membangun perdamaian global. Karena itu, dialog di antara kedua tokoh ini selain sangat bermanfaat bagi para penganut kedua agama, juga bagi masyarakat dunia secara keseluruhan, yang hingga kini terus merindukan perdamaian di muka bumi ini. Berbagai dialog antara Daisaku Ikeda dan KH Abdurrahman Wahid dalam buku ini menunjukkan betapa melalui perjumpaan konkret dua penganut agama berbeda dapat ditemukan persamaan untuk melangkah menuju perdamaian abadi. Perdamaian bukanlah kondisi faktual yang kita terima begitu saja. Perdamaian adalah harapan yang harus diperjuangkan semua pihak.

 




Posting Komentar

0 Komentar